Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UN-REDD Kritik Kemenhut Soal Data Masyarakat Adat

Bisnis.com, JAKARTA - Penelitian organisasi dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan Kementerian Kehutanan tak memiliki data tentang berapa jumlah masyarakat adat yanng mengelola hutan di dalam kawasan tersebut hingga saat ini.

Bisnis.com, JAKARTA - Penelitian organisasi dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan Kementerian Kehutanan tak memiliki data tentang berapa jumlah masyarakat adat yanng mengelola hutan di dalam kawasan tersebut hingga saat ini.

 

Hal itu tertuang dalam Participatory Governance Assessment: The 2012 Indonesia Forest, Land, and REDD+ Governance Index yang dipaparkan oleh UN-REDD. UN-REDD adalah inisiatif kolaboratif antar FAO, UNDP dan UNEP.

Paparan itu menyatakan walaupun terdapat sejumlah kemajuan, tetapi banyak masalah terkait dengan sektor kehutanan yang musti diselesaikan pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah data tentang masyarakat adat.

"Kementerian Kehutanan, misalnya. Tidak ada data tentang jumlah masyarakat adat yang mengelola hutan di dalam kawasan hutan," demikian tulis laporan tersebut yang dikutip pada Selasa, (30/7/2013).

Hal itu, lanjutnya, menyebabkan konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal, atau antara pemerintah dan masyarakat lokal masih terjadi. Laporan itu menuturkan walaupun sejumlah kasus telah masuk ke Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, namun jumlahnya meningkat tajam.

Riset itu mengungkapkan sejumlah alasan mengapa kegagalan untuk mengatasi konflik itu terjadi, di antaranya adalah komitmen serta kepemimpinan di semua level untuk mengatasu masalah hutan, kekurangan perangkat hukum yang menyokong warga.

Tak hanya itu, namun juga minimnya kapasitas pemerintah untuk memediasi konflik dari tahap awal dan proses perencanaan kehutanan hingga manajemen yang belum menerapkan prinsip tata kelola yang baik.

Terkait dengan hal tersebut, pada awal bulan ini, pemerintah Australia telah mengkonfirmasi bahwa proyek senilai AUS$47 juta untuk merestorasi 25.000 hektar lahan gambut itu telah dihentikan. Lahan yang dikonservasi itu berada di Kalimantan Tengah melalui program Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia saat itu, Kevin Rudd pada 2008. Nama program itu kemudian dikenal dengan Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP).

Proyek itu awalnya bertujuan untuk mengari 200.000 hektare lahan gambut kering, melindungi 70.000 hektare hutan gambut serta menanam 100 juta pohon di Kalimantan Tengah. "Tapi proyek itu mengalami kesulitan, sehingga diturunkan menjadi sekita 10% atau 25.000 hektare dari 200.000 hektare itu," demikian Sydney Morning Herald.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global mengatakan AusAID dan KFCP telah gagal untuk mendukung program perlindungan lingkungan yang efektif dan peka terhadap hak-hak masyarakat adat di daerah pedesaan di Kalimantan Tengah.

Deddy Ratih, Manajer Advokasi Bioregion Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengungkapkan proyek KFCP awalnya selalu dipromosikan sebagai sebuah kesempatan untuk memberdayakan masyarakat lokal untuk mengembangkan sumber kehidupan yang berkelanjutan, namun tak berhasil.

"Ini juga bukti paling nyata bahwa semua proyek atas nama apapun, tidak akan sukses tanpa berusaha menyelesaikan persoalan hak atas tanah dan sumber daya alam," kata Deddy di Jakarta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper