Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Evaluasi Aturan LTV versi HP Research, Kurang Efektif Jika Hanya Cegah Bubble

Bisnis.com, JAKARTA - Setahun telah berlalu sejak diberlakukannya Peraturan terkait dengan loan to value ratio (LTV) untuk KPR serta down payment (DP) untuk KKB.

Bisnis.com, JAKARTA - Setahun telah berlalu sejak diberlakukannya Peraturan terkait dengan loan to value ratio (LTV) untuk KPR serta down payment (DP) untuk KKB.

Namun, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis BI menunjukkan bahwa laju pertumbuhan KPR dan KKB masih mengalami kenaikan saat peraturan dirilis pada Maret 2012.

Laju pertumbuhan KKB berada di puncak pada Juni 2012 dengan penyaluran kredit sebesar Rp 107 triliun, atau naik 4,3% dari Maret 2012.

Adapun laju pertumbuhan KPR berada di puncak pada Juli 2012, atau lebih lambat sebulan dibandingkan dengan KKB dengan penyaluran kredit sebesar Rp 220 triliun ,atau naik 15,9% dibandingkan dengan  Maret 2012 saat peraturan dirilis.

Hal yang perlu dicermati adalah pasca penerapan peraturan pada Juni 2012, laju pertumbuhan KKB berkurang signifikan, bahkan berhenti bertumbuh dengan nilai KKB sebesar Rp 94 triliun pada Maret 2013, atau tumbuh -8,9% dibandingkan periode yang sama 2012.

Adapun laju pertumbuhan KPR hanya tertahan hingga  Agustus 2012 (menjadi Rp 197 triliun atau -10,5% dibandingkan dengan Juli 2012), kemudian kembali mengalami pertumbuhan hingga kembali mencapai Rp 220 triliun pada Maret 2013.

Dari sisi kualitas kredit, non performing loan (NPL) KKB ataupun KPR relatif stabil saat peraturan dirilis pada Maret 2012 bahkan hingga Juli 2012 masing-masing memiliki rata-rata 2,1% dan 1,0% untuk KPR dan KKB.

Penurunan kualitas kredit terjadi di bulan Agustus 2012 yang ditandai oleh naiknya NPL untuk KPR dan KKB masing-masing menjadi 2,3% dan 1,1%.

NPL dari KKB berada di puncak pada Oktober 2012 (sebesar 1,2%) tetapi kualitas kredit KKB berangsur membaik hingga  Februari 2013 dengan NPL yang turun menjadi 1,0%. Sementara untuk KPR, kualitas kredit berangsur turun hingga mencapai NPL tertinggi di level 2,6% pada Februari 2012.

Kebijakan moneter BI yang dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan kredit KPR dan KKB kami nilai efektif dengan konsekuensi pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) yang melambat meski di bulan Juni 2012 atau di 2Q12 sempat mengalami ekspansi.

Meskipun demikian, laju pertumbuhan KPR masih tetap menjadi perhatian BI karena sejak Agustus 2012 masih mengalami kenaikan. Hal yang membedakan laju pertumbuhan KPR dan KKB adalah sisi permintaan atau kebutuhan yakni kebutuhan primer akan papan (rumah dan/atau tempat tinggal) dan kebutuhan non-primer akan kendaraan bermotor.

Berdasarkan perbedaan kebutuhan tersebut, pemerintah melalui BI kembali mengkaji untuk menyempurnakan peraturan, khususnya pada pemilikan properti tempat tinggal.

 

Pemerataan kesejahteraan

Berdasarkan skema yang diajukan, terindikasi semangat yang ingin dicapai pemerintah adalah pemerataan kesejahteraan dengan menurunkan LTV pada pembiayaan KPR, KPA, maupun pemilikan rumah dan toko (ruko).

Dengan kata lain, bagi konsumen yang memiliki kemampuan lebih maka diwajibkan membayar DP lebih tinggi apabila akan membeli properti lebih dari satu.

Selain itu, skema pembiayaan pada pemilikan bukan pertama juga menurunkan risiko kredit pada perbankan yang membiayai pemilikan ke-2 dan/atau ke-3. Hal ini untuk mengantisipasi risiko gagal bayar bagi pemilikan ke-2 dan/atau ke-3 yang dibiayai oleh perbankan.

Namun, kami menilai kebijakan ini kurang efektif jika dilakukan untuk mencegah bubble properti atau terjadi peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya.

Karena berdasarkan pembicaraan kami terhadap beberapa pelaku bisnis properti juga mengindikasikan bahwa masih terserapnya penjualan rumah baru dengan sebagian besar menggunakan kas keras, mengindikasikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia sedang berada dalam tahap yang sehat.

Namun jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya golongan tertentu yang memiliki daya beli pada sektor properti baik secara kas amupun melalui pembiayaan, menunjukkan bahwa Indonesia bukan berada pada kondisi Economic Bubble, melainkan kondisi ekonomi yang meningkat namun tidak terdistribusi secara merata.

Berdasarkan data terkini BI dan menurut Knight Frank Indonesia, pasar properti Indonesia tidak sedang dalam kondisi bubble berdasarkan faktor-faktor berikut:

1.    Rasio Mortgage (KPR, KPA dan Ruko) to Total Loan di tahun 2013 rata-rata sebesar 9.1% atau jauh di bawah saat krisis tahun 1998 yang mencapai 21%;

2.    Survey menunjukkan bahwa 95% spekulator properti tidak menggunakan pembiayaan untuk membeli properti;

3.    NPL Mortgage di tahun 2013 rata-rata sebesar 2.4% atau jauh di bawah saat krisis tahun 1998 yang mencapai 25%, selain itu rasio Mortgage to GDP saat ini adalah sebesar 11.7%.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper