BISNIS.COM, JAKARTA – Pelaku usaha warung tegal menolak pengenaan pajak 1% per bulan mulai Juli karena mekanisme yang tidak jelas.
Ketua Dewan Pembina Koperasi Warteg Nusantara Bambang Waluyo Wahab mempertanyakan mekanisme pengutipan pajak mengingat pemilik warteg rata-rata tak memiliki pembukuan alias pencatatan omzet yang rapi.
Dia tak memungkiri jika banyak pengusaha warteg menangguk omzet Rp7 juta-Rp10 juta per hari atau Rp2,5 miliar-Rp3,6 miliar per tahun.
Namun, jumlah yang beromzet kecil, berkisar ratusan ribu per hari, lebih banyak. Koperasi Warteg Nusantara saat ini menaungi 1.000 warteg di DKI Jakarta dengan omzet lebih banyak.
“Orang melihat banyak pengusaha warteg yang sukses. Tapi, banyak juga yang megap-megap. Nah, perlakuan untuk yang megap-megap ini bagaimana. Mereka tidak punya register mesin atau bon seperti di restoran,” katanya, Rabu (26/6/2013).
Menurutnya, pemerintah keliru jika hanya melihat kondisi tempat usaha yang permanen sebagai dasar pengenaan pajak mengingat sebagian besar warteg masih dijalankan dengan sistem tradisional, yakni tanpa pencatatan rapi.
Bambang mengusulkan pemerintah dan pelaku UMKM semestinya duduk bersama untuk menentukan definisi mengenai tempat usaha yang tetap mengingat warteg pun kerap menjadi korban penggusuran.
Dia pun meminta agar pemda mengalokasikan tempat khusus yang keamanannya terjamin agar pelaku usaha dapat berjualan dengan leluasa.
Soal kutipan 1%, pelaku usaha warteg sebetulnya tidak memberatkan. Namun, berhubung warteg di DKI Jakarta sudah dikenai pajak restoran 10%, PPh final 1% itu menjadi beban tambahan.
“Kalau boleh kami usul, kejarlah dulu perusahaan yang besar-besar. Kalau warteg sudah tertata rapi, kami mau kok bayar pajak,” ujarnya.