BISNIS.COM, JAKARTA – Pemerintah berjanji akan merevisi aturan hubungan keterkaitan pengusaha rokok jika dalam penerapan ditemukan dampak negatif terhadap industri rokok berskala kecil.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan PMK No 78/2013 tentang Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang Memiliki Hubungan Keterkaitan tetap berlaku mulai 10 Juni sembari pihaknya mengevaluasi dampak pemberlakuan beleid itu.
“Kami akan me-review setelah periode tertentu,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Selasa (11/6/2013).
Peninjauan ulang itu akan dilaksanakan oleh Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu meskipun belum dipastikan akan dilakukan dalam waktu berapa lama.
Chatib menjelaskan latar belakang regulasi itu dibuat karena banyak perusahaan rokok berskala besar mendirikan pabrik-pabrik berskala kecil untuk menghindari kewajiban membayar tarif cukai tinggi.
Regulasi itu tak hanya melihat hubungan keterkaitan dari aspek permodalan, manajemen kunci, penggunaan bahan baku dalam penetapan golongan dan tarif cukai, tetapi juga hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda.
Hasil indentifikasi hubungan keterkaitan pabrik rokok oleh Kementerian Keuangan pascapenerbitan beleid itu pada 11 April menunjukkan 7 pabrik sigaret kretek mesin (SKM) golongan II harus naik ke golongan I.
Sementara itu, 2 pabrik rokok sigaret kretek tangan (SKT) golongan II harus berpindah ke golongan I, 8 pabrik (SKT) golongan III harus naik ke golongan II dan 1 perusahaan sigaret putih mesin (SPM) golongan II harus naik ke golongan I.
Artinya, pabrik rokok yang naik golongan harus membayar tarif cukai lebih tinggi.
Pelaksana Tugas (Plt) Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang P.S. Brodjonegoro menyebutkan potensi tambahan penerimaan cukai setelah aturan itu diterapkan mencapai Rp920 miliar.
Perkiraan itu telah dimasukkan ke dalam target penerimaan cukai dalam RAPBN-P 2013 sebesar Rp103,73 triliun.
Anggota Komisi XI, Nusron Wahid, keberatan jika aspek hubungan keluarga menjadi dasar penetapan adanya hubungan keterkaitan mengingat karakteristik kebanyakan pemilik pabrik rokok golongan II dan III di Jawa yan memiliki ikatan keluarga satu sama lain.
“Sudah produksinya rendah, harga jualnya rendah, kena cukai tinggi. Ya 'wafat' mereka,” ujarnya.