BISNIS.COM, JAKARTA— Industri rokok dinilai memiliki kebebasan hampir mutlak, karena regulasi yang ada selama ini hanya pembatasan. Mereka juga terus mengembangkan cara terbaru dalam beriklan. Maka, perlu dilakukan pelarangan pada iklan, promosi, dan sponsor rokok.
“Mereka sangat kreatif, mulai beriklan dari media sosial, membangun citra melalui CSR [corporate social responsibility] dan sponsor kegiatan budaya. Penjualan mereka juga digencarkan melalui mobil keliling dan mengajak perempuan cantik sebagai penjualnya,” ujar Ketua Lentera Anak IndonesiaLisda Sundari, Rabu (29/5/2013).
Pelarangan iklan ini, ungkap Lisda, pertama untuk mengurangi konsumsi tembakau. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) rata-rata pengurangan konsumsi rokok negara yang melarang iklan rokok berkurang hingga 16%.
Kedua, melindungi anak-anak dan perempuan dari eksploitasi industri rokok. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asean yang belum melarang IPS rokok. Tanah Air tertinggal dengan Kamboja dan bahkan Vietnam telah membuat regulasi mengenai titik penjualan rokok dan kemasan.
Ketiga, untuk mendenormalisasi konsumsi rokok. Salah satu produk tembakau ini telah menjadi konsumsi yang normal karena efektivitas pencitraan pada iklan. Padahal informasi di dalamnya adalah bentuk peremehan akan kesehatan.
Seperti diketahui, rokok mengandung 7.000 zat berbahaya. Sejumlah 69 zat diantaranya dapat menyebabkan kanker.
Secara terpisah, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) menuturkan tidak bisa dipungkiri bahwa industri rokok ini membawa dampak perekonomian yang besar. Serapan tenaga kerjanya juga cukup besar.
“Kami sependapat bahwa rokok memang mengandung zat adiktif. Namun, melihat multiplier effect yang besar dari industri rokok ini maka segala bentuk promosi rokok boleh dihilangkan asal ada jangka waktu penyesuaiannya,” ujarnya. (ltc)