BISNIS.COM, SURABAYA--Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) meminta pemerintah daerah bersabar meminta bagian bagi hasil dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengatakan pemerintah daerah tidak boleh mengganggu KKKS yang sedang melakukan eksplorasi migas di wilayahnya. Pasalnya, saat melaksanakan kegiatan eksplorasi KKKS sama sekali belum menerima pemasukan dari kegiatannya mengembangkan migas di daerah tersebut.
“Saat ini masih ada gangguan terhadap KKKS yang melakukan kegiatan eksplorasi. Dikira kegiatan migas itu langsung menghasilkan, sehingga langsung minta bagian di tahun yang sama,” katanya di Surabaya, Senin (29/4) usai menyerahkan bantuan pendidikan dari KKKS kepada enam kabupaten yang ada di Jawa Timur.
Rudi mengungkapkan paling tidak dibutuhkan waktu 8 tahun agar modal yang dikeluarkan KKKS saat melakukan eksplorasi kembali. Karenanya, pemerintah daerah harus bersabar untuk mendapatkan bagi hasil sebagai pemasukan daerahnya.
Dia mencontohkan Blok Cepu yang ditargetkan memproduksi migas 165.000 barel per hari pada 2014, baru dapat memberikan kontribusi bagi hasil yang maksimal pada 2022.
“Butuh sekitar 8 tahun untuk mengembalikan modal KKKS, selama 8 tahun itu bagi hasil tidak terlalu besar. Tetapi kalau KKKS sudah balik modal, maka daerah akan mendapatkan pemasukan yang sangat besar,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu Rudi juga meminta Pemerintah Daerah Papua Barat bersabar untuk mendapatkan bagi hasil produksi migas yang lebih besar. Menurutnya, setelah 2019 bagi hasil produksi migas kepada Pemda Papua Barat akan sangat besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
SKK Migas sendiri memang telah mencapai kesepakatan dengan British Petroleum (BP) Berau Ltd yang menjadi operator liquefied natural gas (LNG) Train-3. Dalam kesepakatan itu disebutkan Pemerintah Daerah Papua Barat akan mendapatkan bagi hasil yang lebih besar, sayangnya pihak SKK Migas belum dapat memastikan berapa persentasi dari bagi hasil itu.
Sebelumnya Pemda sempat menolak untuk memberikan izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) pembangunan LNG Tangguh Train-3. Hal itu disebabkan Pemda merasa tidak puas terhadap besaran dana bagi hasil yang diperoleh dari penjualan gas Train-1 dan Train-2.
Dana dari kedua proyek itu tidak optimal karena diberikan setelah keduanya onstream pada 2010 lalu. Dana bagi hasil produksi untuk pemerintah daerah dan pusat pun saat itu masih harus dikurangi beban biaya pembangunan proyek itu hingga 2020 mendatang.
“Kami sudah punya beberapa kesepakatan dengan BP agar Train-3 tetap berjalan dan bagian Indonesia tidak terganggu,” ungkap Rudi.
Saat ini, lanjut Rudi, pihaknya masih menunggu kajian tim dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri terkait perhitungan dana bagi hasil dari ketiga train tersebut. (if)