Siapa tak kenal dengan Nusakambangan. Pulau seluas 210 km2 atau sekitar 21.000 hektar ini mendapat julukan Alcatraz Indonesia karena menjadi tempat para tahanan kelas kakap dari berbagai kasus kriminal.
Secara administratif, pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap. Namun demikian, Pulau Nusakambangan saat ini berada di bawah tanggung jawab khusus Kementerian Kehakiman dan HAM.
Adalah Yohannes Hubertus Eijkenboom atau akrab disapa Johny Indo, tahanan dengan hukuman 14 tahun penjara di Nusakambangan, membuat geger lapas pada 20 Mei 1982. Saat baru menjalani masa hukuman selama 9 tahun, dia bersama 34 tahanan lainnya berhasil kabur dari sel setelah melumpuhkan beberapa petugas.
Sontak saja, petugas gabungan yang terdiri dari polisi, tentara dan aparat lapas memburu para pelarian sesaat setelah kejadian itu. Namun, lolos dari hotel prodeo di Nusakambangan bukan berarti tahanan sudah terbebas dari para penjaga.
Pulau yang kaya kandungan batu kapur itu masih dikelilingi hutan lindung lebat dan menjadi tempat hunian binatang buas, seperti ular berbisa atau macan kumbang. Kalaupun tahanan bisa lolos dari hutan, ada tantangan berikut yang harus ditaklukkan; pulau itu di pisahkan oleh Segara Anakan.
Harus bilang wow dengan faktor alam yang menjadi sang penjaga lapas sejatinya. Karena itulah, dari 35 pelarian, 18 orang akhirnya dapat ditangkap hidup-hidup sedangkan sisanya tewas karena berbagai sebab. Sebanyak 11 orang tewas diterjang timah panas petugas gabungan, 4 orang meregang nyawa karena penyakit, dan 2 orang tewas tenggelam.
Johny Indo adalah pelarian paling lama bertahan. Pada hari ke-12 dia akhirnya menyerahkan diri kepada petugas yang memburunya dengan kaki terluka karena tertembak peluru. Versi lengkap cerita pelarian para napi ini bisa Anda saksikan di film produksi 1987 berjudul Johny Indo, Kisah Nyata Seorang Narapidana.
Ada pertanyaan sederhana dari kisah Johny Indo itu, bagaimana seandainya Pulau Nusakambangan menyatu dengan Pulau Jawa? Apakah nasib para pelarian napi itu akan sama? Jawabnya tentu tidak. Sangat mungkin para bromocorah itu dengan mudahnya lolos dan membaur dengan masyarakat biasa.
Kekhawatiran bersatunya Pulau Nusakambangan dengan Pulau Jawa itu bukanlah isapan jempol. Diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun hingga 15 tahun ke depan, kedua pulau itu akan bersatu, seiring dengan terjadinya sedimentasi di Segara Anakan.
“Perkiraan menyatu itu berdasarkan analisa citra satelit dengan kecepatan sedimentasi 10, 7% per tahun. Jadi paling cepat 10 tahun atau paling lama 15 tahun lagi,” ujar Moch. Harnanto, Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Pengelolaan Sumber Daya Kawasan Segara Anakan di Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap, Jateng, Kamis pekan lalu.
Menurut dia, kesimpulan bakal bersatunya Pulau Nusakambangan dengan Pulau Jawa itu hasil dari penelitian Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung . Fenomena itu juga didukung oleh hasil kajian empat universitas lain. Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjajaran dan Universitas Galuh juga telah merilis studi yang menekankan urgensi dilakukannya sodetan agar pendangkalan di Segara Anakan dapat dihentikan.
Hutan Mangrove
Harnanto menuturkan permasalahan lingkungan yang terjadi Segara Anakan di wilayah Desa Ujung Alang diawali dengan adanya praktik illegal logging yang menyebabkan kerusakan hutan.
Selain itu, adanya pendangkalan laguna juga menyebabkan banjir pasang air laut secara rutin. Laguna adalah semacam danau air laut yang terpisah dari laut lepas oleh bentang alam yang membentuknya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap Adjar Mugiono mengatakan kawasan hutan mangrove Segara Anakan memiliki komposisi hutan terlengkap di Pulau Jawa dengan 28 species mangrove.
Saat ini kondisi Segara Anakan semakin kritis sehingga tindakan penyelamatan harus segera dilakukan. Langkah rehabilitasi Segara Anakan tersebut terkait dengan pelestarian keanekaragaman hayati.
Segara Anakan menjadi satu-satunya laguna di pantai selatan Pulau Jawa yang harus diselamatkan dari kerusakan. Salah satu solusi untuk mencegah bersatunya Pulau Nusakambangan dengan Pulau Jawa dan juga banjir rob adalah dengan melakukan pengerukan dan penyodetan laguna. Dengan sodetan itu, sedimen terbesar yang terjadi di muara Sungai Citanduy bisa dipindahkan dari Segara Anakan.
Lebih jauh Harnanto mengatakan pada pemerintahan orde baru, pusat sebenarnya telah menyetujui proyek konservasi dan pembangunan Segara Anakan yang akan didanai oleh Asia Development Bank.
Namun, ketika proyek baru dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sodetan yang dikenal dengan nama Sodetan Citanduy ini terpaksa dihentikan karena mendapat tentangan keras dari industri pariwisata di Pangandaran dan pengusaha budidaya udang dan ikan di daerah laguna.
Alasannya, mereka khawatir dengan pencemaran yang terjadi karena pengerjaan sodetan. Akibatnya, ADB batal membiayai proyek tersebut dan terkatung-katung hingga saat ini.
Selain berfungsi untuk menghentikan laju sedimentasi, sodetan juga dapat mencegah terjadinya kematian hutan mangrove. Faktanya, kerusakan hutan mangrove itu sudah terjadi saat ini. Dari 8.429 hektar hutan mangrove yang ada, hanya 2.000 hektar dalam keadaan baik. Salah satu indikator rusaknya hutan mangrove dapat dilihat dari banyak tumbuhnya pohon nipah.
Thomas Heri Wahyono, warga desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jateng, mengatakan kerusakan hutan mangrove itu terjadi akibat tingginya laju sedimentasi sejumlah sungai yang bermuara di Segara Anakan. Lahan hutan yang rusak itu kemudian dimanfaatkan masyarakat dengan membuka lahan tambak secara besar-besaran di daerah Ujung Alang.
Melihat kerusakan yang semakin parah, dirinya yang merupakan ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari beranggotakan masyarakat Desa Ujung Alang, tergerak untuk memperbaiki hutan mangrove yang telah dirintis sejak 1999. Berbagai cemooh dan cibiran warga lain yang tak sejalan tidak didengar dan jalan terus. “Mereka itu bilang desa kok malah dihutankan lagi.”
Namun Peraih Kalpataru dari Gubernur Jawa Tengah pada 2010 itu mengaku kewalahan saat menjaga ekosistem wilayah pesisir saat ini. Dia meminta pemerintah juga turun tangan karena kapal-kapal liar yang sengaja mengangkuti bakau atau mangrove secara ilegal setelah melakukan pembabatan hutan kian sering muncul.