Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BISNIS PROPERTI: Apakah Akan Terjadi Bubble?

BISNIS.COM, JAKARTA--Peningkatan harga tanah dan properti dalam beberapa tahun terakhir yang cukup signifikan memicu kekhawatiran akan terjadinya gelumbung ekonomi alias bubble ekonomi utamanya di sektor properti Tanah Air.

BISNIS.COM, JAKARTA--Peningkatan harga tanah dan properti dalam beberapa tahun terakhir yang cukup signifikan memicu kekhawatiran akan terjadinya gelumbung ekonomi alias bubble ekonomi utamanya di sektor properti Tanah Air.

Menanggapi fenomena tersebut, Tim riset Henan Putihrai menilai kondisi ekonomi Indonesia saat ini bukan berada pada kondisi bubble tetapi kondisi ekonomi yang meningkat tanpa disertai distribusi secara merata.

"Berdasarkan pembicaraan kami terhadap beberapa pelaku bisnis properti mengindikasikan bahwa masih terserapnya penjualan rumah baru dan sebagian besar menggunakan kas keras juga mengindikasikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia sedang berada dalam tahap yang sehat," tulis mereka dalam riset HP Analytics yang Bisnis kutip, Rabu (17/4/2013).

Secara teoritis, jelas mereka, bubble ekonomi ditandai dengan melonjaknya harga perumahan akibat spekulasi di tengah persediaan yang relatif memadai. Kenaikan harga properti yang tidak mencerminkan kondisi riil supply & demand ini mendorong terjadinya bubble ekonomi karena sektor perumahan merupakan salah satu acuan kondisi perekonomian negara.

"Sebagai contoh nyata economic bubble yang memicu resesi ekonomi sempat terjadi di Jepang pada 1989 dan Amerika Serikat pada 2006," tulis mereka dalam HP Analystics.

Di Jepang, harga properti di kota besar seperti Tokyo melonjak hingga 3 kali lipat pada 1989 sementara di Amerika Serikat, sekuritisasi aset pada debitur sub-primer properti (sub-prime mortgage) menyebabkan harga jual properti melambung.

Di dalam negeri, harga properti di Jakarta tercatat mengalami peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2005-2006 harga tanah di kawasan Pondok Indah berkisar Rp6 juta/m2 namun pada 2012 harga naik hingga Rp35 juta/m2.

Kenaikan harga properti juga terjadi di Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk, Bumi Serpong Damai (BSD) dan daerah selatan Jakarta dengan rata-rata kenaikan mencapai 40%. "Harga tersebut sudah melampaui harga rata-rata pasar, disisi lain developer memanfaatkan kondisi pasar yang sedang booming," ujar tim riset Henan Putihrai.

Namun demikian, sambung mereka, tidak semua harga rumah di Jakarta mengalami kenaikan tinggi, hanya kawasan elit di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan yang menjulang tinggi bahkan sudah mulai jenuh. Kenaikan harga properti yang paling tinggi terjadi di kawasan Kelapa Gading sebesar 5,5% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Sementara itu, lonjakan harga lahan yang paling besar terjadi di Jakarta Pusat (6,17%) terutama daerah Menteng (7,52%) dan Sawah Besar (6,79%).

Meski permintaan properti di kawasan pusat kota masih tinggi sementara ketersediaan lahan semakin terbatas, namun pergerakan harga properti di Indonesia, terutama Jakarta masih dianggap dalam tingkat wajar.

Menurut tim riset Henan Putihrai, penaikan harga yang terjadi selama ini lebih dipicu oleh peningkatan permintaan dibandingkan dengan aksi spekulasi investor. "Kenaikan permintaan properti ini didorong juga dengan meningkatnya kelas menengah Indonesia yang terkonsentrasi di Jakarta. Secara nasional pertumbuhan kelas menengah akan meningkat 45 juta menjadi 135 juta pada 2030," tutur mereka.

Survei Bank Indonesia memaparkan permintaan rumah residensial per kuartal III/2012 naik sebesar 9,62% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. "Hal yang perlu dilakukan BI adalah memonitor kondisi properti di Indonesia untuk mencegah kenaikan harga yang terlalu berlebih," terang mereka.

Berdasarkan perkembangan terkini, permintaan rumah juga meningkat dipicu oleh krisis utang di Eropa dan resesi ekonomi di Amerika Serikat. Hal ini mengindikasikan bahwa properti di Indonesia merupakan salah satu instrumen investasi yang relatif berisiko rendah terlebih dengan didukung oleh kebijakan Bank Indonesia yang menjaga BI rate pada level terendah.

Suku bunga rendah membuat investor mengalihkan investasinya ke sektor properti sejalan dengan fasilitas KPR yang semakin dipermudah dengan bunga kredit yang rendah.

"Untuk menghindari bubble, Bank Indonesia membatasi nilai kredit 70% atau penetapan uang muka sebesar 30% dari nilai agunan khusus bagi pembelian rumah tipe 70% ke atas, serta membatasi kepemilikan asing," jelas tim riset Henan Putihrai.

Lebih lanjut, tim riset Henan Putihrai juga mengutip pendapat Knight Frank Indonesia yang menyatakan pasar properti Indonesia tidak sedang dalam kondisi bubble berdasarkan tiga faktor yakni pertama, mortgage to credit ratio hanya 14%, masih di bawah krisis 97/98 yaitu 21%. Kedua, 95% spekulator properti tidak menggunakan mortgage untuk membeli properti.

Dan faktor ketiga, NPL sektor properti masih di bawah 5%, jauh di bawah krisis 1998 yaitu pada level 25%. Mortgage to GDP ratio mendekati 3%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Achmad Aris
Editor : Fahmi Achmad
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper