BISNIS.OM, JAKARTA—Kalangan pekerja/buruh menilai rasio pengawas ketenagakerjaan 1:60 adalah ideal, karena setiap tenaga pengawas dapat mengawasi lima perusahaan.
Bahkan, menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, dalam 22 hari kerja untuk mengawasi lima perusahaan berarti satu perusahaan ditargetkan selesai dalam empat hari kerja.
Dia menjelaskan keberadaan Komite Pengawas Ketenagakerjaan yang melibatkan Tripartit (pemerintah, serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha) harus juga dibentuk di daerah.
“Pembentukan Tripartit Daerah dapat membuat Komite Pengawas Ketenagakerjaan Daerah melakukan pengawasan dan memberikan laporan langsung ke Menakertrans, sepengetahuan gubernur, bupati/walikota setempat,” tuturnya, Senin (15/4/2013).
Untuk itu, Timboel menambahkan Aanggaran Pembangunan dan Belanja Negara/Daerah harus juga mengalokasikan anggaran untuk komite pengawas ketenagakerjaan tersebut.
Saat ini, penegakkan hukum ketenagakerjaan sangat lemah, sehingga perlu ada terobosan serius dari pemerintah untuk mengubahnya.
“Jika pengawasan masih seperti ini maka kualitas hubungan industrial akan terus terpuruk dan pemerintah bertanggung jawab memperbaikinya,” jelasnya.
Lemahnya pengawas ketenagakerjaan saat ini, baik kualitas maupun kuantitas, salah satunya dikontribusi oleh signifikan otonomi daerah.
Hal itu dikarenakan dalam otonomi daerah, gubernur dan bupati/walikota seenaknya menempatkan orang-orang dari dinas lain dan melakukan mutasi bagi petugas pengawas.
Selain itu, Timboel menambahkan kepentingan memprioritaskan pendapatan asli daerah membuat kepala daerah lebih mementingkan eksistensi perusahaan di daerahnya daripada menegakkan hukum ketenagakerjaan.