BISNIS.COM, JAKARTA -- Tenggat waktu 5 tahun yang diberikan Undang-Undang No. 4/2009 kepada perusahaan pemegang kontrak karya (KK) dianggap tidak cukup untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih mineral.
Ketua Working Group Hukum Pertambangan Perhapi, Hendra Sinadia mengatakan setidaknya dibutuhkan waktu 7 tahun untuk membangun smelter dari tahap awal. Karenanya, ketika UU No. 4/2009 disusun, Perhapi sempat mengusulkan tenggat waktu selama 7 tahun bagi perusahaan KK untuk membangun smelter.
“Ketika pembahasan UU Minerba, Perhapi mengusulkan 7 tahun dan asosiasi lain juga tidak ada yang mengusulkan 5 tahun. Kenapa hasilnya bisa menjadi 5 tahun, dan kenapa tidak ada yang tahu itu usulan siapa,” katanya di Jakarta, Rabu (6/3/2013).
Hendra mengungkapkan waktu 5 tahun hanya cukup untuk melakukan konstruksi dan pembangunan smelter. Padahal, sebelum pembangunan smelter itu dilaksanakan, pengusaha perlu melakukan feasibility study dan eksplorasi yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Achmad Ardianto, Ketua Umum Perhapi mengatakan pemerintah harusnya dapat menangkap secara menyeluruh mengenai waktu pembangunan smelter. Pasalnya, pembangunan smelter membutuhkan proses panjang untuk memastikan pasokan bahan baku dan keekonomian.
Menurutnya, setiap komoditas memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga pengolahan dan pemurniannya tidak bisa disamakan. “Ada komoditas yang dapat dibangun langsung smelternya, tapi ada juga komoditas yang membutuhkan proses panjang sebelum pembangunan smelter dilakukan,” jelasnya.
Pria yang akrab disapa Didi itu juga meminta pemerintah membuat perencanaan pembangunan smelter. Hal itu dilakukan agar upaya peningkatan nilai tambah sektor pertambangan dapat dilakukan dengan efisien dan memiliki nilai keekonomian.
Menurutnya, perlu dibuat mekanisme pembangunan smelter per klaster wilayah untuk memenuhi keekonomian dan kepastian pasokan bahan baku. “Setiap wilayah kan memiliki karakteristik yang berbeda, jadi harus dibuat per klaster. Itu juga untuk menjaga mesin smelter dan menjaga keekonomian,” ungkapnya.
Penggabungan perusahaan untuk membuat konsorsium dalam membangun smelter juga tidak mudah untuk dilakukan, karena akan bersinggungan langsung dengan kepentingan bisnis para anggota konsorsium tersebut.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo sebelumnya pesimistis akan ada penambahan smelter yang signifikan hingga 2014 nanti. Hal itu disebabkan panjangnya proses pembangunan smelter hingga berproduksi mengolah dan memurnikan bijih mineral.
“Pada 2013 percepatan hilirisasi mineral itu paling tidak akan dilakukan evaluasi berapa smelter yang akan dibangun, groundbreakingnya kapan. Memang 2014 mendatang nampaknya [pembangunan smelter] belum akan selesai seluruhnya, tetapi paling tidak sudah ada rencana pembangunan yang pasti,” tuturnya.
Susilo menuturkan diperlukan kepastian pasokan bahan baku dan ketersediaan energi listrik untuk membangun smelter. Karenanya, pemerintah menyediakan berbagai opsi untuk mempermudah proses pembangunannya di dalam negeri.
Untuk listrik misalnya, jika di dekat lokasi pembangunan smelter ada terdapat cadangan energi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, maka akan di bangun sebuah pembangkit di lokasi tersebut.
“Karena smelter butuh sekitar 50-60 megawatt (MW), maka kalau ada cadangan panas bumi atau batu bara, dan gas, maka akan dibangun pembangkit oleh PLN di lokasi itu. Sehingga tidak perlu biaya tambahan untuk memindahkan bahan baku itu,” jelasnya.
Susilo mengungkapkan setidaknya diperlukan 20 smelter tambahan dengan kapasitas besar untuk mengolah bijih mineral yang ditambang di Tanah Air. Jumlah tersebut juga akan melengkapi 150-an izin pembangunan smelter yang telah didaftarkan pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.