JAKARTA: Perusahaan bongkar muat di Indonesia, yang sebagian besar merupakan usaha mikro kecil dan menengah, menuntut kemudahan akses pendanaan perbankan seiring dengan upaya menuju profesionalisme.
Ketua Umum Asosiasi Perusahan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Bambang K Rahwardi mengatakan mayoritas anggota asosiasi adalah perusahaan dengan skala mikro menengah sehingga membutuhkan pendanaan dari bank.
Namun pada kenyataannya, perbankan belum menganggap sektor usaha bongkar muat yang sejatinya mendukung produktifitas pelabuhan dinilai belum layak mendapatkan pinjaman atau bankable.
“Anggota kami lebih dari 1.000, 80% itu UMKM atau usaha mikro kecil dan menengah, sehingga tentu perlu ada kebudahan regulasi finansialnya, dari bank misalnya,” katanya di sela—sela Peringatan HUT Tri Windu APBMI di Jakarta hari ini, Senin (12/11/2012).
Menurut dia selama ini pendanaan menjadi salah satu kendala dalam pengembangan aktivgitas bongkar muat. Selain itu anggota asosiasi bongkar muat juga kini mulai mengarah pada profesionalisme dalam bekerja.
Dia menilai selama ini keberadaan aktivitas bongkar muat di pelabuhan masih dipandang belum mendukung kinerja pelabuhan, padahal bongkar muat juga menjadi salah satu andil tumbuhnya produktivitas di pelabuhan.
Dia juga membantah tuduhan bahwa kehadiran buruh bongkat buat dinilai menyebabkan biaya pelabuhan dan logistik menjadi tinggi. Dalam kenyataannya, tingginya biaya logistik itu bukan disebabkan buruh bongkat muat tetapi varian biaya lainnya.
Bambang juga menegaskan keberadaan bongkar muat juga sudah diatur dalam UU No.17/2008 tentang Pelayaran sehingga bukan menjadi alasan untuk tidak menggunakan buruh bongkar muat.
“Indikatornya apa kami dinilai tidak produktif? Soal skill, SDM kami punya skill, janganlah diusik keberadaan kami. Soal cost, varian biaya itu kan banyak bukan dari kami,” katanya. (sut)