Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Eko Sulistyo

Direktur Institute for Climate Policy & Global Politics

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Diplomasi Mineral Kritis

Indonesia menggunakan nikel sebagai alat diplomasi strategis dalam negosiasi tarif dengan AS, memanfaatkan cadangan besar untuk memperkuat posisi global dan membangun kemitraan.
Ilustrasi pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa./JIBI-Nurul Hidayat
Ilustrasi pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam forum publik pekan lalu menandai babak baru dalam cara Indonesia memainkan peran di tengah turbulensi geopolitik dan perang tarif global.

Dalam video, Indonesia's nickel diplomacy amid U.S. tariff negotiations, Airlangga menegaskan bahwa nikel Indonesia bukan sekadar komoditas, melainkan alat diplomasi strategis dalam negosiasi dengan Amerika Serikat (AS), terutama merespons kebijakan tarif sebesar 32 persen yang diberlakukan terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia (Reuters, July 10, 2025).

Bukan tanpa alasan. Di tengah rivalitas global atas penguasaan rantai pasok baterai kendaraan listrik, Indonesia menyimpan lebih dari 20 persen cadangan nikel dunia—posisi yang tak bisa diabaikan oleh kekuatan ekonomi manapun (U.S. Geological Survey, 2025).  Dan kini, sumber daya itu bukan lagi hanya soal ekspor, tetapi telah diartikulasikan sebagai modal geopolitik baru.

Diplomasi mineral kritis muncul sebagai respons atas lonjakan kebutuhan bahan baku strategis dalam ekonomi rendah karbon. Negara-negara seperti AS, Uni Eropa (UE), dan Tiongkok telah lebih dulu merumuskan strategi nasional untuk menjamin pasokan mineral seperti litium, kobalt, tembaga, hingga nikel.  Dalam konteks itu, Indonesia bukan hanya "ladang bahan mentah", tapi pemain kunci dalam upaya pengamanan rantai pasok global.

Yang menarik, pendekatan Indonesia tidak hanya hanya meminta pengertian atau keringanan, tapi juga memberi insentif kepada negara mitra. Pemerintah menawarkan kompensasi strategis seperti pembelian pesawat Boeing, impor gandum, serta rencana kerja sama investasi senilai lebih dari 34 miliar dolar AS.  Artinya, diplomasi Indonesia tidak hanya berbasis kekayaan alam, tapi juga didorong oleh prinsip resiprokal dan kepentingan bersama.

Inilah strategi mutual benefit sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan perdagangan, investasi, dan industri hilir.  Dalam narasi yang lebih luas, ini adalah bentuk diplomasi tiga jalur, yakni penguatan posisi tawar, negosiasi kompensasi, dan strategic partnership.

Diplomasi mineral kritis mendapat konteks aktual ketika AS di bawah Presiden Trump kembali memberlakukan tarif tinggi terhadap Indonesia.  Bagi sebagian negara, langkah ini bisa menjadi tekanan besar.  Namun dalam kasus Indonesia, Airlangga justru menyatakan bahwa “kami memiliki nikel, tembaga, dan kobalt.  AS membutuhkan itu. Kami terbuka untuk bernegosiasi.”

Ini bukan sekadar retorika. Saat AS mengejar pengurangan ketergantungan terhadap pasokan Tiongkok untuk industri baterai dan kendaraan listrik, Indonesia berada dalam posisi strategis sebagai alternatif yang kredibel.

Di sinilah “diplomasi nikel” menjadi realpolitik baru yang memadukan kekuatan sumber daya dengan kapasitas negosiasi ekonomi.  Nikel menjadi alat tawar—bukan hanya komoditas ekspor—melainkan instrumen untuk melawan tarif, membentuk kemitraan, dan membangun posisi global.

Dalam konteks diplomasi mineral kritis, hilirisasi juga menjadi instrumen geopolitik. Ketika Indonesia mampu memproses bijih mentah menjadi baterai kendaraan listrik dan turunannya, posisi tawar diplomatiknya naik kelas.  Pembangunan pabrik baterai skala global di Karawang dan Morowali, kerja sama dengan CATL (Tiongkok) dan LG (Korea Selatan), bukan hanya proyek bisnis, tetapi langkah memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan energi global.

Langkah ini bukan tanpa tantangan. Investasi teknologi, penguatan regulasi lingkungan, hingga perlindungan pekerja lokal menjadi syarat penting agar hilirisasi tidak menjadi bentuk baru eksploitasi dan kutukan sumberdaya.   Namun jika dikelola dengan hati-hati, diplomasi mineral kritis akan membawa Indonesia pada fase kepemimpinan strategis di era transisi energi.

Saat AS, Tiongkok, dan UE berlomba mengamankan mineral kritis, Indonesia dihadapkan pada pilihan strategis, ikut dalam blok geopolitik tertentu atau menjaga posisi independen yang fleksibel. Indonesia tentu lebih nyaman memainkan peran sebagai penyeimbang dalam politik global, bukan pion dalam perebutan pengaruh.  Ini sesuai dengan semangat Non-Aligned Movement versi baru, di mana kekuatan ekonomi dan sumber daya menjadi alat utama, bukan afiliasi ideologis.

Dalam konteks inilah diplomasi mineral kritis menjadi penting. Platform ini menjadi perpanjangan tangan dari kedaulatan ekonomi, sekaligus representasi dari sikap politik luar negeri yang aktif dan terukur.  Bukan hanya untuk merespon tekanan tarif AS, tetapi juga untuk merancang masa depan industrialisasi strategis yang adil dan berkelanjutan.

Langkah Airlangga bukan hanya manuver taktis menghadapi tarif AS, tetapi bagian dari upaya panjang Indonesia menegosiasikan ulang posisinya dalam tatanan ekonomi global.  Mineral kritis, dalam konteks ini, menjadi alat untuk menegaskan kedaulatan sumber daya, memperkuat posisi tawar, dan membangun aliansi baru yang tidak semata didasarkan pada pasar, tetapi juga pada nilai strategis jangka panjang.

Diplomasi mineral kritis adalah bentuk diplomasi masa depan. Ketika dunia bergerak menuju ekonomi hijau, Indonesia tidak boleh lagi puas menjadi eksportir mentah.  Kita harus menjadi arsitek masa depan industri energi global, dan diplomasi adalah jalan untuk mencapainya.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Eko Sulistyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro