Bisnis.com, JAKARTA- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menetapkan besaran tarif perdagangan Indonesia menjadi hanya 19%, dipangkas dari rencana sebelumnya 32% seiring dengan tercapainya kesepakatan kedua negara, Selasa (15/7/2025).
Keputusan ini mengakhiri negosiasi panjang Pemerintah Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, termasuk mengirimkan tim ke Washington DC, AS, untuk negosiasi penurunan tarif dengan tenggat 1 Agustus 2025. Trump menyebut kesepakatan ini tercapai setelah berbicara langsung dengan Presiden Prabowo Subianto.
Sebagai bagian dari perjanjian itu, Indonesia berkomitmen akan membeli komoditas energi AS senilai US$15 miliar atau setara dengan Rp240 triliun (kurs Rp 16.000/US$), produk pertanian US$4,5 miliar atau sekitar Rp72 triliun dan 50 unit Boeing, mayoritas jet model 777.
Research Director Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi, menilai kesepakatan ini tentu dilandasi prinsip timbal balik untuk mencapai hubungan dagang yang fair bagi kedua negara.
Indonesia bisa menjual produk di pasar AS dengan besaran tarif yang lebih rendah dari sebelumnya, sehingga dapat meningkatkan daya saing produk, sementara AS mengekspor barang produktif yang dibutuhkan industri tanah air.
Gundy menggaris bawahi bagaimana kemampuan Indonesia mencapai kesepakatan yang sejauh ini relatif lebih baik dibandingkan negara lain sehingga diharapkan bisa membangkitkan optimisme dan meningkatkan kepercayaan investor atas prospek bisnis di Indonesia.
Baca Juga
Efek samping lainnya akan sangat bergantung deal antara Trump dengan negara lain yang memiliki ketergantungan tinggi dengan pasar AS, terutama di Asia seperti Vietnam dan China. Jika kesepakatan tarif yang diraih negara negara itu ternyata tidak lebih baik dari Indonesia, maka terbuka peluang terjadinya realokasi asalkan Indonesia mampu mengoptimalkan kesempatan tersebut dengan mempermudah izin dan kepastian hukum. Hal ini pada akhirnya bisa memacu sektor riil, pembukaan lapangan kerja, meningkatkan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi.
“Apalagi Trump menegaskan akan menindak keras praktik transhipment bagi para pelaku usaha yang coba coba mengakali ekspor ke AS melalui negara yang dikenakan tarif lebih rendah,” kata Gundy, dikutip dari siaran pers, Jumat (18/7/2025).
Lebih jauh, katanya, Indonesia dapat menjadi peluang yang sangat baik untuk memperbesar foreign direct investment (FDI) yang nantinya akan memberikan dampak bagi perputaran roda ekonomi, pembukaan lapangan kerja, peningkatan konsumsi dan pertumbuhan PDB.
Gundy menambahkan, negosiasi AS dengan negara lain memang masih berlangsung dan bisa saja menghadirkan berbagai kejutan baru. Namun demikian, kemampuan Indonesia mengunci kesepakatan sebelum tenggat berakhir, dengan penurunan tarif dari 32% ke 19%, perlu diapresiasi.
“Menariknya, deal dengan Presiden Trump tercapai di saat Presiden Prabowo terus menunjukkan posisinya yang kuat di BRICS dan aktif menjalankan diplomasi ekonomi ke Uni Eropa,” kata Gundy.
Sebagai catatan, selain sukses mencapai kesepakatan dengan AS, Presiden Prabowo juga berhasil melobi Uni Eropa dalam perjanjian Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) setelah melalui proses negosiasi panjang selama lebih dari 10 tahun. Kesepakatan ini memungkinkan Indonesia mengakses pasar benua biru dengan tarif 0%.
“CEPA merupakan bentuk kemitraan ekonomi menyeluruh yang sepadan dengan perjanjian perdagangan bebas. Perjanjian ini memungkinkan produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa dengan tarif 0 persen, dan sebaliknya. Jadi kita sangat ada hubungan simbiosis mutualisme,” kata Presiden Prabowo.