Bisnis.com, JAKARTA — Koperasi Desa Merah Putih mengandung sejumlah persoalan dari sisi pembiayaan.
Analis kebijakan ekonomi Ajib Hamdani mengatakan bahwa spirit dari sebuah koperasi adalah gotong-royong, kekeluargaan, dan bersifat mandiri. Jadi, dengan prinsip-prinsip itu, semestinya koperasi tumbuh dari bawah, karena lembaga koperasi merupakan milik anggota.
“Kalau kemudian pola yang dibangun financing seperti [pinjaman dari bank BUMN] ini, sebenarnya yang punya koperasi ini siapa, sih?” tanya dia dalam obrolan Broadcash di kanal Youtube Bisniscom, dikutip pada Selasa (10/6/2025).
Dia melanjutkan, pemerintah dalam hal ini satuan rugas koperasi desa merah putih, belum pernah membedah konsep pembiayaan koperasi yang terdiri dari simpanan pokok, wajib dan sukarela, yang menjadi motor pembiayaan.
“Kita belum pernah mendengar pola pembiayaan dari internal kooperasi di mana kooperasi itu adalah dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Jadi sebenarnya yang ingin kita dengar itu bagaimana pemerintah mendorong kebijakan-kebijakan, memberikan insentif-insentif, sehingga kooperasi ini dari sisi financing berjalan dengan baik,” urainya.
Menururtnya, kalau koperasi yang baru berdiri, tidak mungkin dibiayai oleh bank swasta. Karena itu, pasti yang baka turun tangan adalah bank BUMN dalam bentuk public service obligation (PSO). Jika skema ini yang dijalankan, maka bank tentu akan memberikan pinjaman meski koperasi itu tidak layak untuk mendapatkan kredit, lantaran merupakan mandatori dari pemerintah.
Baca Juga
Jika skema seperti itu, maka tentu akan membahayakan bank BUMN, karena kredit tersebut merupakan uang yang berasal dari dana pihak ketiga (DPK). Sebuah entitas yang menghimpun dana dari masyarakat semacam itu, menurutnya, harus tunduk pada berbagai regulasi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti kaualitas dan kapsitas obligor.
Menurutnya, sebuah koperasi yang baru dibentuk kalau pun mendapatkan pinjaman, tidak mungkin bunganya di bawah 5%. Hal ini dikarenakan perbankan juga harus memperhitungkan tingkat bunga tabungan pihak ketiga yang juga mencapai 5%. Jika bunga pinjaman ke koperasi di bawah 5%, tentu akan melahirkan kerugian pada perbankan.
Artinya, tutur dia, jika berbicara tentang bunga komersial, pasti berada di kisaran 10%. Sementara itu, pemerintah kerap memberikan pernyataan bahwa koperasi yang pembentukannya diinisiasi oleh pemerintah itu, akan mendapatkan pinjaman bank dengan bunga di kisaran 3%.
Artinya, terang dia, maka ada dua opsi yakni pemerintah memberikan subsidi bunga, atau pembiayaan bukan dari perbankan melainkan dari kocek pemerintah alias APBN.
“Tapi ini akan menjadi problem lagi. Sekarang kita bisa bayangkan, kalau kooperasi dibiaya oleh APBN, ini musti ada potensi diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Kalau pengelolaannya tidak proper dan tidak accountable,” ujarnya.
Selain itu, tuturnya, pemerintah juga mengatakan bahwa koperasi merah putih akan dikelola oleh tenaga profesional. Konsekuensinya, harus ada skema penggajian yang profesional dan masuk dalam biaya operasional koperasi.
“Kita bisa bayangkan, kalau duit baru pinjaman, kooperasi yang baru berdiri, yang baru mau memulai usaha, kemudian sudah harus menggaji orang. Skala ekonominya bagaimana? Skala bisnisnya masuk atau tidak? Ini yang perlu dikritisi dan dikaji lebih detail. Jangan sampai karena kita terburu-buru 12 Juli nanti harus launching, nanti bulan Oktober 80.000 kooperasi sudah siap, kemudian terburu-buru menyiapkan pola financing, sehingga ini menjadi menjadi kredit macet,” tutupnya.