Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Celios Kritik Penyusunan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Minim Partisipasi Publik

Celios mengkritik proses penyusunan peta jalan pensiun dini PLTU minim partisipasi publik.
Ilustrasi PLTU Suralaya/Dok. PLN
Ilustrasi PLTU Suralaya/Dok. PLN

Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai penyusunan peta jalan transisi energi khususnya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) minim partisipasi publik dan transparansi.

Adapun, peta jalan itu termaktub dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan.

Peneliti Hukum Celios Muhamad Saleh mengatakan, penyusunan Permen tersebut tak memiliki prosedur baku dan pelibatan pemangku kepentingan secara luas. Oleh karena itu, kebijakan tersebut rentan mengalami disorientasi arah dan bertentangan dengan prinsip keterbukaan serta partisipasi bermakna sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Selain itu, penunjukan PT PLN (Persero) sebagai penyusun utama kajian pensiun dini PLTU juga menimbulkan potensi konflik kepentingan. Ini mengingat PLN merupakan pengelola PLTU sekaligus aktor dominan di sektor ketenagalistrikan. 

"Tanpa pengawasan independen dan keterlibatan lintas sektor, hasil kajian yang dirujuk dalam Permen ESDM ini berisiko mempertahankan status quo dan menghambat percepatan transisi energi." ungkap Saleh melalui keterangan resmi dikutip MInggu (11/5/2025).

Lebih jauh, dia menilai struktur tahapan dalam Permen ini justru melemahkan komitmen penghentian PLTU karena menjadikan pensiun dini sebagai opsi terakhir.

Menurutnya, ketergantungan pada pendekatan 'natural retirement' tanpa batas waktu yang jelas serta dorongan terhadap penggunaan teknologi mahal dan belum terbukti seperti CCS/CCUS (teknologi penangkap karbon) serta biomassa co-firing, justru memperlambat proses dekarbonisasi sektor energi. 

Saleh juga berpendapat, penggunaan metode analytical hierarchy process (AHP) dalam penilaian juga tidak tepat. Sebab, hal itu membuat setara aspek-aspek yang seharusnya tidak diperbandingkan secara langsung, seperti pertimbangan ekonomi dengan dampak ekologis dan kesehatan publik. 

Dia mencontohkan, dari sepuluh kriteria yang disusun, bobot tertinggi diberikan pada ketersediaan dukungan pendanaan, yakni sebesar 27,1%. Sementara itu, indikator lingkungan seperti emisi gas rumah kaca hanya diberi bobot 9,3%.  

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira pun menyoroti besarnya komponen ketersediaan pendanaan hingga 27,1% dalam penilaian PLTU batu bara yang dapat dipensiunkan. 

Menurutnya, pemerintah seolah tidak mempertimbangkan bahwa PLTU yang beroperasi sudah menimbulkan kerugian ekonomi, lingkungan, kesehatan dan keuangan negara yang cukup besar.

Bhima menyebut bahwa tanpa ada ketersediaan dana, sebenarnya beberapa PLTU bisa langsung dimatikan untuk mengurangi kerugian keuangan negara. 

"Sebagai contoh PLTU yang menjadi beban oversupply pada jaringan transmisi Jawa-Bali. Jadi tanpa perlu menunggu ketersediaan dana, PLTU Suralaya, PLTU Paiton dan Pelabuhan Ratu bisa segera dipensiunkan.” kata Bhima. 

Selain itu, dia menilai Kementerian ESDM dalam peta jalan transisi energi justru membuka opsi pengembangan solusi palsu seperti co-firing, retrofit PLTU yang justru menghambat pemensiunan PLTU batu bara. 

“Apakah investor justru lebih tertarik membiayai solusi palsu tersebut dibanding pengakhiran operasional PLTU batu bara? Sebagai contoh kerja sama AZEC [Asia Zero Emission Community] yang diinisiasi Jepang tidak memasukkan skema pemensiunan PLTU secara spesifik dalam kerjasama dengan pemerintah Indonesia,” ungkap Bhima.  

Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2025 sendiri ditetapkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada 10 April 2025. Dalam beleid tersebut, pensiun dini akan menyasar pada PLTU yang memenuhi kriteria seperti kapasitas, usia pembangkit, utilisasi, dan emisi gas rumah kaca PLTU.

Lalu, nilai tambah ekonomi, ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri, serta ketersediaan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri. 

Selain kriteria tersebut, pensiun dini PLTU juga memperhatikan keandalan sistem kelistrikan, dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga listrik terhadap tarif tenaga listrik, dan penerapan aspek transisi energi berkeadilan (just energy transition). 

Lebih lanjut, dalam hal terdapat ketersediaan dukungan pendanaan, pelaksanaan pensiun dini PLTU harus didahului dengan kajian. Adapun, kajian itu dilakukan oleh PLN berdasarkan penugasan dari menteri.

Selain itu, kajian pensiun dini PLTU disusun dengan tiga ketentuan. Pertama, dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 6 bulan terhitung sejak penugasan dari menteri. 

Kedua, memuat paling sedikit aspek teknis, aspek hukum, aspek komersial, dan aspek keuangan termasuk sumber pendanaan, serta penerapan prinsip tata kelola yang baik dan prinsip business judgement rules. 

Ketiga, dapat memanfaatkan berbagai kajian dari lembaga independen sebagai referensi tambahan.

Di samping itu, dokumen dukungan pendanaan harus menjadi bagian dari dokumen perikatan mengenai pelaksanaan pensiun dini PLTU yang dilakukan oleh pemberi dukungan pendanaan dengan pemerintah dan/atau PLN. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper