Bisnis.com, JAKARTA - Amerika Serikat (AS) menyoroti isu sertifikasi halal sebagai hambatan dagang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Lantas, bagaimana baiknya menyikapi kritik Negeri Paman Sam tersebut?
Sebagai informasi, dalam dokumen 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers besutan United State Trade Representative (USTR), AS menyoroti negara-negara mitra dagang yang seakan mempersulit impor masuk produk-produk besutannya, antara lain karena terganjal sertifikasi halal.
Isu sertifikasi halal di Tanah Air yang jadi sorotan, antara lain karena beberapa regulasi dianggap menghambat masuknya impor produk farmasi dan alat kesehatan, produk biologis, kosmetik, produk rekayasa genetik, produk kimia, dan barang kebutuhan pribadi.
Adapun, selain Indonesia, AS juga menyentil kebijakan-kebijakan terkait sertifikasi halal dari Brunei Darussalam, Mesir, Malaysia, Pakistan, serta negara-negara Teluk Arab.
Kepala Peneliti Pusat Pengembangan Ekonomi Syariah Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nur Hidayah mengingatkan pemangku kepentingan agar pendapat AS dicermati secara kritis, karena menyentuh dua aspek fundamental sekaligus, yaitu kedaulatan regulasi nasional dan kelancaran arus investasi global.
"Sertifikasi halal bukan sekadar regulasi teknis, melainkan merupakan manifestasi dari hak konstitusional umat Muslim atas jaminan kehalalan produk yang mereka konsumsi," jelasnya kepada Bisnis, Rabu (23/4/2025).
Baca Juga
Menurutnya, dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, kewajiban sertifikasi halal adalah bagian dari perlindungan konsumen berbasis kepercayaan, dan karenanya memiliki dimensi keagamaan, sosial, dan ekonomi yang tidak bisa disederhanakan menjadi sekadar hambatan dagang.
Namun di sisi lain, patut disadari bahwa mekanisme pelaksanaan sertifikasi halal di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Khususnya dalam hal waktu proses, pembiayaan, dan integrasi sistem antar lembaga.
"Ini harus menjadi fokus pembenahan, bukan kompromi terhadap substansi sertifikasinya. Maka yang perlu dilakukan bukan melunak, tetapi melakukan reformasi institusional dan digitalisasi proses sertifikasi halal agar lebih business friendly, tanpa kehilangan ruh syariahnya," tambahnya.
Guru besar sekaligus pakar keuangan syariah dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini pun menyarankan agar pemangku kepentingan melihat kritik AS secara objektif dan komprehensif, kemudian mengambil langkah-langkah perbaikan internal.
Indonesia harus tegas dan tidak perlu melunak berkaitan prinsip perlindungan halal, namun tetap perlu memperbaiki tata kelola dan pelayanan sertifikasi halal agar tetap kompetitif dalam lanskap ekonomi global.
Misalnya, menerapkan sistem 'halal fast-track' untuk investor strategis, dengan tetap menjaga kualitas audit syariah, serta memperkuat kolaborasi antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan pelaku usaha sejak tahap awal investasi agar perencanaan sertifikasi dapat diintegrasikan secara tepat waktu.
Harmonisasi standar halal internasional agar pelaku usaha tidak terbebani dengan sertifikasi ganda pun penting, diiringi peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan auditor halal serta pemberdayaan Lembaga Pemeriksa Halal secara merata.
"Kita tidak bisa menutup mata bahwa tantangan di lapangan masih besar, baik dari efisiensi proses, keterbatasan SDM auditor, ketimpangan distribusi LPH, hingga isu biaya dan waktu yang dirasakan pelaku usaha. Tapi justru ini momentum tepat untuk menunjukkan bahwa halal bukan beban, tapi nilai tambah ekonomi dan daya saing bangsa," jelasnya.
Baginya, reformasi tata kelola, percepatan layanan, dan transformasi digital proses sertifikasi halal bisa dilakukan dengan penyederhanaan proses dengan sistem pelayanan halal satu pintu berbasis digital.
Selanjutnya, penguatan peran BPJPH dalam koordinasi dengan LPH dan MUI agar proses tidak terfragmentasi, perluasan kemitraan strategis dengan pelaku usaha dan investor sejak tahap perencanaan bisnis, hingga harmonisasi standar halal dengan negara mitra dagang untuk mencegah sertifikasi ganda yang mahal dan rumit.
"Alih-alih mengendurkan prinsip halal, ini saatnya Indonesia menunjukkan bahwa ekosistem halal bisa sekaligus religius, efisien, dan kompetitif di mata investor global. Sertifikasi halal bukan hambatan investasi, justru nilai tambah dan jaminan mutu produk Indonesia di pasar internasional," tutupnya.