Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memiliki jatah penarikan utang baru melalui penerbitan Surat Berharga Negara/SBN senilai Rp642,6 triliun pada tahun ini. Per akhir Maret 2025, tersisa Rp360 triliun.
Jatah tersebut sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden No. 201/2024 tentang Rincian APBN 2025.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengungkapkan sisa target penerbitan SBN senilai Rp360 triliun untuk periode sembilan bulan berikutnya menimbulkan pertanyaan mengenai kecukupan untuk membiayai belanja pemerintah sepanjang 2025.
“Risiko utama dari kondisi ini adalah apabila kinerja pendapatan pajak tidak mengalami pemulihan signifikan, maka pemerintah akan menghadapi tekanan fiskal yang semakin besar di paruh kedua 2025,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025).
Pasalnya di tengah jatah pembiayaan yang tersisa Rp360 triliun tersebut, penerimaan negara, termasuk pajak, tidak setinggi tahun sebelumnya.
Per akhir Maret 2025, penerimaan negara baru mencapai Rp516,2 triliun atau lebih rendah dari Maret 2024 yang mencapai Rp620 triliun.
Baca Juga
Dengan kondisi tersebut, Josua memprediksikan defisit fiskal mencapai 2,6% dari PDB—melebar dari target pemerintah 2,53%. Sementara kebutuhan pembiayaan yang meningkat dapat mendorong pemerintah untuk melakukan penerbitan tambahan SBN di luar rencana.
Menurutnya, kondisi tersebut berisiko menyebabkan kenaikan yield atau suku bunga imbal hasil obligasi secara signifikan.
Kondisi ini pula, kata Josua, dapat mempersempit ruang fiskal bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan countercyclical untuk meredam dampak perlambatan ekonomi global yang disebabkan oleh perang dagang yang semakin intensif.
Selain itu, risiko likuiditas di pasar obligasi domestik perlu diantisipasi, karena meningkatnya kebutuhan pembiayaan melalui SBN dalam situasi di mana preferensi investor mulai bergeser, dapat menyebabkan tekanan terhadap yield, khususnya jika terjadi penarikan dana oleh investor asing.
Josua melihat adanya cara lain ketimbang menerbitkan SBN lebih banyak, yakni dengan memanfaatkan penurunan harga minyak global di bawah asumsi APBN sebesar US$82/barel untuk menurunkan alokasi subsidi dan menciptakan ruang fiskal tambahan.
Pasalnya per Februari 2025, ICP tercatat senilai US$74,29 per barel atau turun US$2,52 per barel dari ICP Januari 2025 dengan harga US$ 76,81 per barel.
Namun demikian, Josua melihat langkah ini memiliki keterbatasan politis serta sensitivitas sosial yang tinggi.
“Kesimpulannya, meskipun sisa target penerbitan SBN sebesar Rp360 triliun dapat secara teori mencukupi hingga akhir 2025 dengan manajemen kas yang ketat,” tuturnya.
Konsekuensinya pun, pemerintah harus bersiap menghadapi risiko tekanan fiskal tambahan jika penerimaan pajak tidak segera membaik.
Strategi fiskal perlu dirancang secara lebih konservatif dengan pengawasan ketat terhadap belanja negara dan mempertimbangkan risiko volatilitas di pasar obligasi, terutama dalam kondisi likuiditas global yang terbatas dan volatilitas sentimen investor yang tinggi.
Penerbitan SBN Capai Rp282,6 Triliun
Realisasinya pada tiga bulan pertama—termasuk prefunding—pemerintah telah menerbitkan SBN mencapai Rp282,6 triliun.
Angka tersebut bahkan jauh lebih tinggi dari realisasi akhir Maret 2024 yang hanya senilai Rp104 triliun atau meningkat Rp178,6 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya melaporkan bahwa penarikan utang yang dilakukan cukup besar pada awal tahun atau frontloading tersebut menjadi langkah antisipasi efek kebijakan Presiden AS Donald Trump.
“Memang menjadi kenaikan karena kita melakukan frontloading mengantisipasi bahwa Pak Trump akan membuat banyak disruption," ujarnya dikutip pada Kamis (10/4/2025).
Otoritas fiskal pun, dalam hal ini Direktur Jenderal Penglolaan Pembiayaan dan Risiko Suminto, belum menyampaikan apakah pada bulan-bulan berikutnya penerbitan akan dilakukan se-massif kuartal pertama atau tidak.
Adapun, pembiayaan APBN 2025 tidak sebatas dari SBN. Dalam Perpres No. 21/2024 pun telah dicantumkan pembiayaan termasuk melalui pinjaman, dalam dan luar negeri, senilai Rp133,3 triliun.