Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mulai meracik strategi manajemen untuk bertahan dari aspek operasional, komersial, dan finansial di tengah rencana kenaikan tarif royalti mineral.
Tarif baru itu akan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) yang merupakan revisi dari PP Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta PP No. 15 Tahun 2022 tentang Perlakukan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara.
Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho mengatakan pelaku usaha mendapat sinyal kenaikan tarif royalti mineral dan batubara akan diterbitkan oleh Pemerintah sebelum lebaran ini.
“Tentunya akan menimbulkan tantangan tersendiri bagi perusahaan mineral khususnya untuk tetap dapat bertahan dan bertumbuh, sebab tarif PNBP royalti mineral diperkirakan naik sekitar 100-300%,” kata Fathul kepada Bisnis, Senin (24/3/2025).
Di satu sisi, Fathul memahami rencana kenaikan tarif tersebut merupakan hak Pemerintah, karena mining rights ada pada Pemerintah. Sedangkan, perusahaan tambang mendapatkan economic rights setelah membayar royalti kepada Pemerintah.
Namun, pihaknya berharap kenaikan tarif PNBP tersebut tetap memperhatikan aspirasi perusahaan pertambangan minerba yang mengajukan tarif royalti tidak sampai 2 kali lipat dari sebelumnya.
Baca Juga
“Tetapi, apabila tarif royalti memang naik secara signifikan, maka perusahaan tambang mineral harus segera beradaptasi dan dapat belajar dari perusahaan tambang batubara yang telah mengalami kenaikan tarif royalti tinggi pada tahun 2022,” jelasnya.
Dia pun menerangkan, beberapa strategi yang akan dilakukan penambang untuk bertahan yaitu pertama, efisiensi kegiatan operasional penambangan.
Adapun, langkah ini perlu ditempuh dengan meningkatkan recovery rate penambangan, sehingga seluruh cadangan mineral dapat diekstraksi dan meminimalkan waste.
Selanjutnya, perusahaan tambang mineral dinilai perlu menggeser paradigma dari volume-based ke value-based, yaitu perusahaan fokus pada penambangan mineral kadar tinggi terlebih dahulu.
"Mineral dengan kadar rendah hanya akan membebani margin pada saat royalti naik, oleh karena itu perusahaan perlu memprioritaskan blok tambang dengan grade tertinggi terlebih dahulu,” ujar Fathul.
Strategi kedua yaitu renegosiasi kontrak jangka panjang pada aspek komersial. Dia menerangkan bahwa perusahaan mineral dapat mengajukan revisi harga di dalam long term contract.
“Dengan membuat formula harga misalnya HPP plus margin, plus variable royalti, sehingga tarif royalti dapat dinamis sesuai dengan tarif baru yang berlaku, dengan demikian kenaikan royalti juga ditanggung oleh pembeli,” terangnya.
Selanjutnya, strategi ketiga yaitu restrukturisasi utang untuk aspek finansial. Pasalnya, kenaikan royalti tentunya berpotensi menggerus arus kas.
“Sehingga perusahaan perlu restrukturisasi utang, terutama yang berbunga tinggi, melalu refinancing untuk memperpanjang tenor utang dan menurunkan beban bunga,” pungkasnya.