Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Padat Karya Babak Belur, Mungkinkah Target Ekonomi 8% Tercapai?

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor industri ini menyerap 13,8% dari total tenaga kerja di Indonesia.
Pekerja beraktifitas di proyek LRT Jabodetabek di Jakarta, Rabu (18/3/2020). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR) belum berencana melakukan moratorium atau menghentikan sementara pekerjaan proyek konstruksi yang padat karya meski jumlah kasus virus corona atau Covid-19 terus meningkat. PUPR masih menyusun protokol khusus proyek konstruksi dan akan segera diterbitkan. Bisnis/Abdurachman.
Pekerja beraktifitas di proyek LRT Jabodetabek di Jakarta, Rabu (18/3/2020). Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR) belum berencana melakukan moratorium atau menghentikan sementara pekerjaan proyek konstruksi yang padat karya meski jumlah kasus virus corona atau Covid-19 terus meningkat. PUPR masih menyusun protokol khusus proyek konstruksi dan akan segera diterbitkan. Bisnis/Abdurachman.

Bisnis.com, JAKARTA — Kondisi industri padat karya makin tak menentu dengan kabar penutupan pabrik industri seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) hingga alas kaki. Padahal, manufaktur memiliki peran strategis dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029. 

Anggota DPR RI Komisi XI, Puteri Anetta Komarudin mengatakan untuk dapat mencapai target tersebut perlu perbaikan industri padat karya sehingga subsektor yang menyerap tenaga kerja besar dapat berkontribusi besar terhadap ekonomi nasional. 

“Untuk mendukung keberlanjutan industri padat karya, diperlukan kebijakan yang melindungi dan tidak restriktif,” ujarnya, Senin (10/3/2025). 

Menurut dia, pemerintah harus memperbaiki dan mengoptimalkan kebijakan untuk keberlangsungan industri padat karya dengan mempertahankan penyerapan tenaga kerja di tengah badai PHK. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor industri ini menyerap 13,8% dari total tenaga kerja di Indonesia. Kontribusi besar ini didorong oleh industri pengolahan, yang menyumbang 18,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

Dia mencontohkan, kontribusi serapan tenaga kerja pada 2023, industri tekstil dan pakaian jadi menyerap sekitar 3,8 juta pekerja. Sementara itu, industri hasil tembakau menyerap lebih dari 6 juta pekerja, dan industri alas kaki serta kulit menyerap lebih dari 1 juta tenaga kerja.

“Pastinya, industri padat karya dapat mendorong pencapaian target pertumbuhan tersebut,” jelasnya.

Meski demikian, Puteri tak menutup fakta adanya tren penurunan serapan tenaga kerja di sektor padat karya, salah satunya industri tekstil. Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus PT Sri Rejeki Isman (Sritex), perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, yang resmi tutup pada 1 Maret 2025 dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap lebih dari 10.000 karyawan. 

Menurut dia, kondisi tersebut perlu mendapat perhatian guna mencegah terjadinya kondisi serupa di sektor-sektor padat karya lainnya. 

“Hal ini perlu diantisipasi terhadap dampaknya pada pertumbuhan sektor industri dan geliat konsumsi masyarakat,” tegasnya.

Untuk itu, penting untuk melakukan optimalisasi paket kebijakan guna menjamin keberlangsungan industri padat karya, terutama untuk sektor-sektor industri yang termasuk dalam paket kebijakan tersebut. 

Beberapa kebijakan di antaranya insentif PPh 21 DTP (Ditanggung Pemerintah) bagi sejumlah golongan pekerja industri padat karya, pembiayaan revitalisasi mesin dengan subsidi bunga, serta bantuan 50% untuk jaminan kecelakaan kerja selama enam bulan. 

“Stimulus ini berperan penting dalam menjaga daya beli dari pekerja dan produktivitas industri padat karya,” ungkapnya.

Dengan langkah-langkah tersebut, Puteri optimistis industri padat karya dapat terus menjadi salah satu penggerak utama perekonomian Indonesia. 

Sebelumnya, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi mengatakan salah satu kendala yang selama ini menjadi kendala bagi industri untuk melaju yakni kebijakan relaksasi impor yang diberikan tanpa diimbangi kebijakan perlindungan pasar domestik.

Alhasil, produk jadi impor dengan harga murah masuk dengan mudah ke pasar Indonesia, yang berdampak pada penurunan pesanan bagi industri lokal. Hal ini pun menyebabkan pesanan masa lebaran tak dapat dinikmati pengusaha TPT dalam negeri.

“Bahkan, pada masa Lebaran yang biasanya meningkatkan permintaan, pesanan tidak mengalami kenaikan yang signifikan,” terangnya. 

Kondisi pasar yang kurang menguntungkan saat ini membuat investasi dalam bentuk apa pun menjadi tidak efektif. Sebab, investasi harus didukung oleh daya beli dan permintaan pasar yang baik agar dapat memberikan dampak positif bagi industri dan negara. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper