Bisnis.com, JAKARTA — Besaran penerimaan perpajakan tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu. Pakar pun menyoroti faktor lemahnya pengawasan otoritas dan ketidakpatuhan wajib pajak.
Keseimbangan penerimaan perpajakan dengan pertumbuhan ekonomi sendiri bisa dihitung lewat mekanisme tax bouyancy. Rumus perhitungan tax bouyancy yaitu persentase perubahan penerimaan perpajakan dibagi persentase perubahan produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penerimaan perpajakan tumbuh sebesar 3,6% (year on year/YoY) pada 2024. Sementara itu Badan Pusat Statistik membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% YoY pada 2024.
Artinya, nilai tax buoyancy Indonesia berada di angka 0,71. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional, penerimaan pajak hanya naik sebesar 0,71%.
Idealnya, nilai tax buoyancy adalah 1. Nilai tersebut menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan penerimaan pajak yang juga sebesar 1%.
Dengan demikian, setoran pajak tidak elastis pada tahun lalu atau bisa dikatakan penerimaan pajak tumbuh lebih lambat daripada pertumbuhan ekonomi.
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono menjelaskan setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan penerimaan pajak semakin tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu faktor internal dan eksternal dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
"Faktor internal berkaitan dengan kemampuan petugas pajak mengumpulkan pajak. Penyebabnya berasal dari intensifikasi dan ekstensifikasi yang belum optimal," jelas Prianto kepada Bisnis, Minggu (9/2/2025).
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia ini menjelaskan proses intensifikasi berkaitan dengan penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan) yang tidak berujung pada pembayaran pajak bagi wajib pajak.
Penyebabnya, sambung Prianto, adalah potensi pajak yang ada di SP2DK menggunakan data yang kurang valid. Dengan demikian, wajib pajak bisa menjelaskan rujukan data yang kurang valid di SP2DK melalui proses pembuktian sehingga potensi penerimaan pajak menjadi sirna.
Sementara itu, proses ekstensifikasi berkaitan dengan penambahan wajib pajak baru, khususnya orang pribadi, melalui pemanfaatan NIK yang belum optimal.
Dia meyakini belum optimalnya penambahan wajib pajak karena praktik ekonomi bawah tanah alias underground economy (UGE) yang menyebabkan transaksi-transaksi orang pribadi tidak terdeteksi oleh sistem informasi perpajakan.
"Faktor eksternal berasal dari perilaku oportunistik wajib pajak karena praktik UGE dan praktik manajemen pajak. Secara umum, pajak menjadi beban sehingga setiap wajib pajak terus berusaha mengefisienkan beban pajak," lanjut Prianto.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute itu memaparkan bahwa efisiensi beban pajak dapat dilakukan melalui cara legal berupa tax planning dan tax avoidance.
Tax planning seperti pemanfaatan insentif pajak dan fasilitas pajak berupa non-objek pajak, pembebasan pajak, atau pajak ditanggung pemerintah.
Sementara tax avoidance dilakukan melalui eksploitasi celah pajak (tax loopholes). Caranya dengan memunculkan sengketa pajak karena perbedaan penafsiran atas suatu aturan karena ambiguitas aturan pajak itu sendiri.