Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mencatat ada enam kecenderungan negatif pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang ditunjukkan dalam 100 hari pertamanya.
Wijayanto mengakui banyak hal positif yang juga ditunjukkan pemerintahan Prabowo pada masa-masa awal pemerintahannya. Kendati demikian, menurutnya, akan lebih bermanfaat apabila akademisi memberi catatan kritis daripada sekadar memuji kinerja pemerintah.
"Kecenderungan [negatif] pemerintah Prabowo yang harus diluruskan kalau ingin mewujudkan [visi misi] Asta Cita, dan semakin cepat diluruskan, maka akan semakin baik. Saya fokus kepada kritik," ujar Wijayanto dalam diskusi Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintah Prabowo Bidang Ekonomi secara daring, Rabu (22/1/2025).
Mantan staf khusus wakil presiden untuk ekonomi dan finansial ini merincikan enam kecenderungan negatif tersebut. Pertama, koordinasi antarinstansi yang kurang solid.
Menurutnya, kerap terjadi perbedaan narasi antara menteri dan wakil menteri, antara menteri dengan menteri, hingga antara pemerintah pusat dengan daerah.
"Ini buruk karena membingungkan konsumen, membingungkan pelaku usaha, membingungkan investor," ujar Wijayanto.
Baca Juga
Kedua, komunikasi publik yang kurang bagus dan terlalu banyak janji. Wijayanto meyakini ketika janji yang setinggi langit masyarakat akan senang dan ikut optimis.
Kendati demikian, jika janji tersebut tidak terwujud kesenangan dan optimisme masyarakat akan berubah menjadi kekecewaan. Menurutnya, fenomena tersebut akan menjadi bumerang bagi pemerintahan Prabowo.
Ketiga, solusi yang didorong pemerintah cenderung parsial sehingga tidak komprehensif. Wijayanto mencontohkan kebijakan penghapusan kredit macet UMKM yang hanya solusi jangka pendek tetapi diyakini tidak menyelesaikan masalah mendasar.
Keempat, kebijakan-kebijakannya cenderung populis seperti kenaikan upah minimum provinsi sebesar 6,5% ketika inflasi hanya 1,55%. Kelima, basis teknokratik kurang kuat sehingga cenderung didominasi keputusan-keputusan politis.
"Kalau basis teknokrasinya kuat, enak diskusinya, enak memberikan masukannya, dampaknya terukur. Tetapi kalau tidak ada basis teknokrasi yang kuat, ya memang sulit untuk melakukan perbaikan," ujarnya.
Keenam alias terakhir, ketimpangan antara narasi besar dengan implementasi di lapangan. Wijayanto mencontohkan ada narasi besar memberantas korupsi namun perbaikan dari sisi integritas belum disentuh pemerintah baru.