Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan penjualan ritel China secara tak terduga melambat pada periode November 2024.
Mengutip data Biro Statistik Nasional (NBS) pada Senin (16/12/2024), penjualan ritel China naik 3% secara year-on-year (yoy), atau laju paling lambat dalam tiga bulan terakhir. Sebelumnya, para ekonom yang disurvei Bloomberg memproyeksikan pertumbuhan 5%.
Pada saat yang sama, produksi industri meningkat 5,4%, hampir sama dengan kinerja bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan sisi manufaktur terus mengungguli belanja konsumen.
Pelemahan penjualan ritel ini di luar perkiraan. Bulan lalu, penjualan peralatan rumah tangga dan mobil sempat dilaporkan naik berkat subsidi pemerintah. Para ekonom mengaitkan perlambatan tersebut dengan fakta bahwa festival belanja Single's Day—yang biasanya berlangsung pada 11 November (11.11)—dimulai lebih awal pada Oktober tahun ini, yang dapat menekan penjualan bulan November.
"Perekonomian secara keseluruhan stabil dan berkembang di tengah stabilitas. Namun, kita juga perlu melihat bahwa lingkungan eksternal semakin kompleks, dan permintaan domestik tidak mencukupi," kata juru bicara NBS, Fu Linghui, dalam pernyataan yang menyertai rilis data tersebut.
Sejumlah barang konsumsi diskresioner atau produk bukan kebutuhan utama mengalami penurunan penjualan. Kosmetik memimpin dengan penurunan sebesar 26% dibandingkan tahun lalu. Penjualan minuman, tembakau, alkohol, serta pakaian juga mencatat penurunan.
Baca Juga
"Data ini menunjukkan bahwa pemulihan permintaan domestik tetap lamban, sementara stabilisasi produksi industri kemungkinan disebabkan oleh pemesanan di muka sebelum tarif AS diberlakukan, yang sifatnya tidak berkelanjutan," ujar Michelle Lam, ekonom China Raya di Societe Generale SA, dikutip dari Bloomberg.
Indeks CSI 300 saham dalam negeri merosot setelah rilis data, turun sebanyak 0,5%. Imbal hasil obligasi acuan 10 tahun juga memperpanjang penurunan, turun 6 basis poin ke rekor terendah 1,73%. Sementara itu, yuan tetap stabil di pasar dalam negeri maupun luar negeri.
"Gambaran besarnya tetap pada ketidakseimbangan pasokan-permintaan, yang masih menunjukkan prospek deflasi," kata Xing Zhaopeng, ahli strategi senior China di Australia & New Zealand Banking Group Ltd.
Ekonomi terbesar kedua di dunia ini telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan tentatif sejak Oktober setelah Beijing mengumumkan serangkaian langkah stimulus untuk mencapai target pertumbuhan 2024 sekitar 5%.
Penjualan ritel, yang telah tertinggal dari produksi industri sejak pandemi, semakin menjadi sorotan. Dorongan Beijing untuk manufaktur sebagai penggerak ekonomi telah memicu tuduhan dari AS dan Uni Eropa bahwa China membanjiri pasar mereka dengan barang murah.
Ancaman perang dagang baru dengan AS setelah terpilihnya kembali Donald Trump dapat mengurangi peran ekspor sebagai pendorong pertumbuhan, yang tahun ini berkontribusi hampir seperempat terhadap ekspansi ekonomi.
Para pembuat kebijakan China menekankan pentingnya peningkatan pengeluaran pada pertemuan minggu lalu. Mereka berjanji untuk meningkatkan konsumsi dan mendorong permintaan domestik di berbagai sektor.
Namun, sejauh ini kebijakan yang direncanakan masih belum jelas dalam skala dan detailnya. Para pejabat menolak usulan ekonom untuk memberikan uang tunai langsung kepada konsumen, dengan Presiden Xi Jinping memperingatkan risiko jatuh ke dalam perangkap kesejahteraan sosial.
Perlambatan ekspansi ekonomi pada kuartal terakhir, yang mencapai level terlemah sejak awal 2023, mendorong langkah pemotongan suku bunga dan dukungan untuk sektor properti serta pasar saham.
Pemerintah juga meluncurkan program pertukaran utang senilai US$1,4 triliun untuk mengurangi risiko utang pemerintah daerah dan membebaskan ruang fiskal guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah di semua tingkatan mempercepat penjualan obligasi dalam beberapa bulan terakhir. Pembiayaan bersih tercatat melebihi 1 triliun yuan (US$138 miliar) selama empat bulan berturut-turut hingga November.
Namun, hal ini belum menunjukkan dampak signifikan terhadap investasi. Investasi aset tetap hanya tumbuh 3,3% dalam 11 bulan pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama pada 2023, melambat dari laju pada Januari-Oktober.
Investasi properti turun 10,4% dalam periode tersebut, sedikit memburuk dari penurunan 10,3% pada 10 bulan pertama. Hal ini mencerminkan masih rendahnya kepercayaan di kalangan pengembang meskipun penjualan perumahan menunjukkan pemulihan dan penurunan harga mulai mereda.