Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OECD Ungkap Alasan Pemerintah Tak Kunjung Terapkan Pajak Karbon

Dalam laporannya, OECD mengungkapkan alasan pemerintah tak kunjung menerapkan pajak karbon.
Ilustrasi pajak karbon/ Dok. Canva
Ilustrasi pajak karbon/ Dok. Canva

Bisnis.com, JAKARTA — OECD mengungkapkan alasan pemerintah sebagai otoritas fiskal yang tak kunjung menerapkan pajak karbon, meski bursa karbon telah melantai sejak 26 September 2023. 

Dalam hasil Survei Ekonomi OECD Indonesia 2024, tercatat bahwa kekhawatiran pemerintah yakni akan beban pajak karbon akan memberatkan konsumen. 

“Pihak berwenang menjelaskan bahwa lambatnya peluncuran pajak berbasis emisi sebagian disebabkan oleh kekhawatiran mengenai dampak harga dari pajak yang lebih tinggi dan biaya operasional kepada konsumen,” tulis OECD, dikutip pada Jumat (29/11/2024). 

Sejatinya, amanat pajak karbon tercantum dalam Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Implementasi pajak karbon seharusnya bersamaan dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022. 

Faktanya, pajak karbon terus ditunda sementara PPN naik sesuai jadwal. Padahal, keduanya sama sama membebankan biaya kepada konsumen. 

Bahkan hingga menuju implementasi PPN 12% pada Januari 2025 pun, pajak karbon semakin tidak terdengar kabarnya. 

Lebih lanjut OECD menyampaikan bahwa instrumen penetapan harga dan pajak masih kurang berkembang dalam bauran kebijakan Indonesia, meskipun kemajuan telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir. 

Sejauh ini, strategi mitigasi lebih mengutamakan instrumen berbasis non-pasar, terutama standar kinerja minimum, persyaratan pelabelan, pelarangan, dan penghapusan, daripada instrumen berbasis pasar. 

Instrumen berbasis pasar berkontribusi lebih kecil terhadap total aksi iklim di Indonesia dibandingkan dengan negara anggota OECD lainnya, sedangkan kontribusi target, tata kelola, dan data iklim jauh lebih besar. 

Pada tahun 2019, pendapatan pajak terkait lingkungan (terutama pajak kendaraan bermotor) setara dengan kurang dari 1% PDB, dibandingkan dengan rata-rata 2,3% di seluruh negara OECD dan non-OECD. 

Indonesia pun pada 2021 mengimplementasikan kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi di atas 250 gram per liter bahan bakar dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar 40%.

Untuk itu, OECD mendorong pemerintah agar transisi menuju pasar energi yang lebih berbasis harga perlu dipercepat. Tanggung jawab regulasi harus dialihkan kepada otoritas independen dengan kekuasaan dan sumber daya keuangan yang memadai. “Penerapan pajak karbon yang tepat harus dipercepat,” tulis OECD. 

Komentar terakhir Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati soal pajak karbon, tercatat pada akhir Agustus lalu. 

Bendahara Negara menyebut bahwa pemerintah terus menyiapkan payung hukum hingga kesiapan industri sebelum akhirnya pajak karbon dapat diterapkan di Indonesia. 

“Kita siapkan terus building block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya, kesiapan dari sisi perekonomian dan industrinya,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Djakarta Theater, Sabtu (24/8/2024).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper