Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom: Refinancing Bakal Jadi Pilihan Sri Mulyani Lunasi Utang Burden Sharing ke BI

Ekonom memprediksi pemerintah bakal memilih jalan refinancing untuk membayar kewajiban yang berasal dari skema burden sharing.
Ilustrasi skema burden sharing Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah. JIBI/Freepik.
Ilustrasi skema burden sharing Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah. JIBI/Freepik.

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom memprediksikan pemerintah bakal memilih jalan penarikan utang baru untuk melunasi utang lama atau refinancing, untuk membayar kewajiban yang berasal dari skema berbagi beban alias burden sharing kepada Bank Indonesia. 

Untuk diketahui selama masa pandemi Covid-19, Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI) sepakat untuk melaksanakan Surat Keputusan Bersama (SKB) I-III. BI bertindak sebagai standby buyer dan membeli surat utang negara di pasar perdana untuk menstabilkan sistem keuangan dan membiayai APBN. Tercatat sepanjang 2020 hingga 2022, BI melakukan pembelian SBN senilai Rp836,56 triliun. 

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam melihat pilihan yang paling mungkin diambil adalah refinancing untuk memenuhi kewajiban utangnya. 

“Menurut saya yang tersedia hanya [refinancing] itu, kecuali kalau pemerintah kemudian berhenti untuk tidak lagi berutang. Justru kita berharap pemerintah itu berutang, kalau tidak berutang, bahaya,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (10/11/2024). 

Melalui refinancing pula, memungkinkan untuk pemerintah menerbitkan utang baru dengan tenor yang lebih panjang. 

Piter melihat jalan tersebut merupakan hal lumrah yang pemerintah lakukan terhadap pengelolaan utang. Bukan hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara seperti Jepang dan Amerika Serikat. 

Utang menjadi penting untuk membantu belanja negara. Piter mengungkapkan pemerintah mungkin saja tidak lagi berutang, namun harus menghadapi kenyataan untuk mengurangi belanja, tak lagi memberikan subsidi dan bansos, dan tak lagi memberikan insentif. 

Taruhannya, ekonomi tidak akan bergerak dan justru turun. Berbanding terbalik dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk mengerek ekonomi menuju 8%. 

Di samping besarnya beban negara menghadapi pembiayaan APBN, Piter menilai tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan utang pemerintah yang jatuh tempo sepanjang pemerintah masih kredibel untuk menerbitkan surat utang baru dan ada yang membelinya. 

“Semua negara itu memutar utangnya seperti itu, dengan hal yang sama. Jepang dan Amerika semuanya itu muter utang. Utang yang jatuh tempo ditutup dengan utang yang baru,” tuturnya. 

Adapun untuk tahun depan, utang jatuh tempo pemerintah kepada BI akan mulai pada angka Rp100 triliun dan dijadwalkan berlangusng hingga 2030 dengan angka yang variatif. 

Sejauh ini pemerintah belum menjabarkan cara melunasi utang kepada bank sentral tersebut dengan ruang fiskal yang sempit. Prabowo bahkan meminta seluruh kementerian/lembaga untuk memangkas anggaran perjalanan dinas sebesar 50% demi menghemat APBN. 

Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menegaskan bahwa sejauh ini dalam penarikan utang baru dan pengelolaannya, tetap terkendali dan dalam batas aman. 

"Kinerja pembiayaan ini tetap on track dan dikelola secara efisien dengan menjaga risiko tetap dalam batas terkendali," katanya dalam konferensi pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (8/11/2024).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper