Bisnis.com, JAKARTA - Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berperan vital dalam mengakselerasi perputaran roda perekonomian nasional. Menurut Kementerian Koperasi dan UMKM (KUMKM), pelaku usaha yang acap disebut sektor informal ini berkontribusi 60,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Badan Pusat Statistik mencatat bahwa PDB Indonesia tahun 2023 sebesar Rp20.892,4 triliun. Artinya, hampir Rp12.640 triliun PDB ditopang oleh UMKM.
Tak cuma di pasar domestik, “si mungil” juga meramaikan pasar internasional. UMKM menyumbang 15,6% terhadap ekspor non-migas; meraih rasio partisipasi dalam rantai pasokan dunia (global supply chain) sebesar 4,1%; serta berkontribusi 60% atas investasi nasional.
Para pelaku UMKM membuktikan bahwa mereka ulet dan tangguh di tengah tantangan kondisi perekonomian. Di saat banyak perusahaan raksasa limbung terhantam situasi dunia usaha yang tak baik-baik saja, UMKM justru tetap bertahan menghadapi gempuran. Krisis ekonomi 1998 telah mencatat, UMKM tetap survive di tengah kelesuan.
Selain itu, UMKM juga menjadi penyelamat dari problem pengangguran. Masih menurut Kementerian KUMKM, tenaga kerja yang terserap mencapai 96,9%. Sementara itu, menurut Kementerian Ketenagakerjaan, pada tahun 2023, jumlah penduduk bekerja mencapai 140 juta.
Namun, di sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa para pelaku UMKM masih terkendala dengan penyelenggaraan akuntansi. Kurangnya literasi ihwal pembukuan dan pencatatan ini setidaknya menimbulkan dua persoalan. Pertama, peluang UMKM untuk mengakses kredit perbankan guna ekspansi usaha menjadi terbatas atau tidak bankable karena masalah tata buku itu tadi.
Mereka belum dapat menyajikan laporan keuangan yang cukup meyakinkan lembaga keuangan formal untuk mengucurkan pinjaman kepada mereka. Kedua, mereka terhambat dalam berkontribusi membayar pajak secara benar. Karena baik omzet (perputaran usaha kotor) maupun laba bersih tidak dapat disajikan secara akurat, besarnya kewajiban pajak pun kurang tepat mereka hitung untuk selanjutnya mereka setorkan.
Dari sinilah, mengingat pentingnya peran para pelaku UMKM dalam perekonomian kita, tentu negara mendukung dan mendorong sejumlah kemudahan bagi mereka. Sebagai pengelola “Uang Kita” atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui kebijakan fiskal, Beranjak dari permasalahan di atas, pemerintah juga telah menyiapkan terobosan bagi para pelaku UMKM untuk berpartisipasi membayar pajaknya.
Satu Dekade Peran Pajak
Kementerian Keuangan dalam kurun sepuluh tahun terakhir periode pemerintahan Presiden Joko Widodo memberikan stimulus kepada sektor UMKM, khusunya melalui kebijakan perpajakan. Jika sedikit kita tarik ke belakang, setahun sebelum pergantian tongkat estafet kepemimpinan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah “mewariskan” fasilitas perpajakan bagi UMKM. Legacy tersebut berupa Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013).
PP 46/2013 merupakan inovasi yang memudahkan pelaku UMKM berkontribusi dengan membayar pajaknya secara simpel. Cukup kalikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final 1% dari omzet bulanan, pelaku UMKM dapat menghitung pajaknya dengan gampang, untuk selanjutnya ia setorkan ke kas negara dan laporkan melalui surat pemberitahuan. Fasilitas ini dinikmati oleh pelaku UMKM dengan omzet sampai dengan Rp4,8 miliar dalam setahun.
Selanjutnya, Presiden Jokowi membuat gebrakan dengan program tax amnesty, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Kemudahan itu berupa tarif yang jauh lebih rendah daripada harta repatriasi dalam negeri ataupun harta deklarasi luar negeri.
Sesuai dengan periodenya, tarif tebusan pajak atas harta repatriasi dalam negeri adalah 2% (periode pertama 1 Juli hingga 30 September 2016), 3% (periode kedua 1 Oktober sampai dengan 31 Desember 2016), dan 5% (periode ketiga atau terakhir 1 Januari hingga 31 Maret 2017). Sementara itu, tarif tebusan pajak atas harta deklarasi luar negeri sebesar 4%, 6%, dan 10% untuk masing-masing periode secara berurutan.
Nah, khusus pelaku UMKM, dari 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 tidak mengenal kenaikan tarif tebusan. Jika pelaku UMKM mengungkapkan nilai harta sampai dengan Rp10 miliar, berlaku tarif tebusan 0,5%, dan nilai harta lebih dari 10 miliar dikenai tarif tebusan 2%.
Selang beberapa waktu, PP 46/2016 dirasa perlu untuk ditinjau ulang. Oleh karena itu, terbitlah PP 23/2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Belakangan, PP 46/2018 direvisi melalui PP 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Ketentuan di atas mengatur bahwa tarif PPh Final turun menjadi 0,5%. Artinya, seumpama seorang pedagang nasi bungkus, dia cukup membayar pajak sebesar satu porsi tiap kali berhasil menjual 200 bungkus nasi. Sangat ringan, bukan?
Tahun 2020 merupakan pukulan telak bagi dunia usaha karena pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) merebak ke segala penjuru dunia. Aktivitas bisnis di tingkat global lumpuh dan ekonomi lesu. Mobilisasi pun terkunci karena lockdown.
Berpacu dengan waktu agar segera bangkit, pemerintah mengambil langkah tepat dengan meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dengan enam fokus area, yakni kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, dukungan UMKM, pembiayaan korporasi, serta pemerintah daerah dan sektoral kementerian.
Menurut Kementerian Keuangan, dukungan UMKM membutuhkan total anggaran Rp123,46 triliun. Dukungan UMKM tersebut berupa antara lain dengan insentif pajak ditanggung Pemerintah atas PPh Final UMKM (PP23/2018), serta relaksasi pembayaran angsuran dan bunga kredit. Bahkan pasca-pandemi pun, sejumlah insentif tetap digelontorkan.
Berkaca pada sederet kebijakan perpajakan tersebut, terbukti bahwa Uang Kita selama satu dekade ini bekerja bersama demi menjaga kinerja para pelaku UMKM. Tentunya, agar keberlangsungan usaha mereka semakin ciamik, karena merekalah penggerak roda perekonomian.