Bisnis.com, JAKARTA – Penanggulangan perubahan iklim di kawasan Asia dan Pasifik dinilai terkendala oleh kurangnya data yang diperlukan oleh para pembuat kebijakan.
Hal itu tertuang dalam hasil survei ADB yang mencakup 29 badan statistik nasional di Asia dan Pasifik berjudul Key Indicators for Asia and the Pacific 2024: Data for Climate Action.
Dalam laporan itu, disampaikan bahwa sejumlah badan statistik nasional di kawasan menyatakan tidak memiliki staf yang memadai untuk menangani data iklim, sedangkan yang lain menyatakan tidak memiliki unit khusus yang menangani data iklim.
Sementara itu, sebagian besar responden menyebutkan bahwa akses mereka ke banyak jenis data granular geografis hanya pada taraf ‘cukup’, termasuk data tentang pendorong perubahan iklim, seperti penggunaan bahan bakar fosil dan emisi total gas rumah kaca.
Data penting mengenai dampak terhadap ekosistem, infrastruktur, daerah geografis khusus, dan ketahanan air, juga masih kurang.
Padahal, Asia dan Pasifik menyumbang lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global, dan mengalami dampak bencana dan risiko iklim lainnya yang lebih berat dibandingkan kawasan lain.
Baca Juga
ADB menilai, tanpa data berkualitas tinggi dan kemampuan untuk menganalisis data tersebut, para pembuat kebijakan di kawasan tidak dapat merancang langkah-langkah yang efektif dan tepat sasaran guna mengatasi penyebab dan dampak perubahan iklim, serta mengevaluasi efektivitas langkah tersebut.
“Kita memerlukan data berkualitas tinggi dan kapasitas statistik yang kuat untuk menghindari titik-titik buta kebijakan dan memastikan bahwa strategi untuk mengatasi krisis iklim sudah berdasarkan informasi yang tepat,” kata Kepala Ekonom ADB Albert Park melalui keterangan resmi, Kamis (22/8/2024).
Untuk itu, kata Albert, diperlukan investasi pada sistem statistik, sumber daya manusia, dan kelembagaan di kawasan.
“Biaya akibat tidak melakukan hal-hal tersebut akan jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk investasi ini,” jelasnya.
ADB menilai, memiliki data yang tepat akan memungkinkan pemantauan dampak perubahan iklim yang lebih bersifat lokal, sehingga memberikan konteks bagi respons kebijakan yang lebih efektif, yang didorong data dan berdasarkan bukti.
Data granular geografis pun dapat membantu identifikasi bidang-bidang yang perlu diprioritaskan untuk kebijakan, sehingga memastikan bahwa sumber daya sudah disalurkan ke bidang yang paling membutuhkannya.
ADB mencatat, berbagai badan statistik nasional menghadapi tantangan tak hanya dari sisi keterbatasan kapasitas dan kurangnya akses ke data iklim, tetapi juga ketidakseragaman definisi dan metodologi.
Responden survei menyebutkan kondisi ini disebabkan oleh kurangnya staf bidang teknis, terbatasnya sumber daya keuangan, kesulitan dari sisi metodologi dan teknis, kurangnya koordinasi dengan pemangku kepentingan lainnya, serta tidak diprioritaskannya data perubahan iklim.