Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) mengeklaim produk keramik dalam negeri punya daya saing yang mumpuni. Namun, adanya dumping produk keramik asal China jadi hambatan utama para pelaku industri untuk bertumbuh.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto mengatakan, industri keramik menjadi salah satu yang menerapkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) paling tinggi yaitu rata-rata mencapai 80%.
Menurutnya, bukan hanya bermanfaat menghidupi lebih dari 150.000 tenaga kerja, industri keramik juga telah menjaga keberlangsungan ribuan UMKM yang menjadi bagian dari rantai pasok mereka.
Edy menyebut, pada 2022 Indonesia menempati posisi ke-8 sebagai produsen terbesar produk keramik dunia dengan tingkat utilitas mencapai 430 juta meter persegi per tahun.
Posisi pertama, produsen keramik dunia disabet oleh China, mengekor India, Brasil, Vietnam, Spanyol, Iran dan Italia.
Di sisi lain, menurut Edy apabila merujuk pada kapasitas terpasang, seharusnya Indonesia bisa menempati urutan ke-4 produsen keramik dunia.
Baca Juga
Hal itu seiring peningkatan target kapasitas terpasang pada 2024 mencapai 625 juta meter persegi karena didukung pertumbuhan produsen baru yang berasal dari kalangan eks importir.
Dari segi kualitas, Edy memastikan produk keramik asal Indonesia sudah berdaya saing. Hal itu terbukti dari adanya ekspor produk keramik ke sejumlah negara seperti Filipina, Taiwan, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, dan Australia.
"Kalau kita tidak punya daya saing, enggak mungkin kita bisa ekspor, kita kuasai pasar Filipina. Artinya kita punya daya saing dari sisi kualitas, inovasi nyata kita diterima di negara-negara lain," kata Edy dalam Bisnis Indonesia Forum di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Sayangnya, potensi besar industri keramik kini teradang oleh produk impor dari China yang terbukti melakukan dumping. Edy menekankan, industri keramik tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri menghadapi gempuran produk impor asal China yang begitu murah.
Dia menyebut, untuk produk lantai keramik asal China bisa dijual dengan harga sekitar US$2,3 per meter persegi. Sementara harga pokok produksi (HPP) keramik lokal di kisaran US$4,5 - US$5 per meter persegi.
"Begitu kita dihadapkan dengan produk impor khsusunya dari China, jangan biarkan kami fight. Ini bukan B2B [business to business], ini B2G (business to government], yang kami hadapi adalah government dari China," ungkap Edy.
Kementerian Perdagangan, kata Edy, mesti berani menerapkan Pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) dan safeguard yang memadai untuk mengadang serbuan produk keramik impor asal China.
Pasalnya, China diketahui telah mengalami over capacity dalam hal produksi keramik. Tingkat kapasitas produksi di China, kata Edy, bisa mencapai 13 miliar meter persegi per tahun. Namun, mereka baru bisa memproduksi sekitar 7 miliar meter persegi atau sekitar 53% dari kapasitas.
Dia menegaskan, BMAD dan BMTP menjadi langkah tepat untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat. Dengan begitu para pelaku industri keramik berharap bakal tercipta iklim usaha dan investasi yang kondusif.
"Kenapa produk China ini harus melakukan dumping ke mana-mana? Tidak bisa kita pungkuri dia over capacity, over supply, dia [China] enggak bisa buang kemana-mana lagi, dia lempar ke Indonesia," beber Edy.