Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha mal mengakui adanya perubahan tren gaya belanja di kalangan masyarakat sebagai sinyal melemahnya daya beli.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan bahwa gejala melemahnya daya beli masyarakat menengah kebawah makin nyata. Menurutnya, saat ini masyarakat cenderung memilih belanja produk-produk dengan harga per unit lebih murah.
Dia merujuk pada penjualan ritel-ritel di pusat belanja yang saat ini cenderung tumbuh pesat pada kategori produk murah. Misalnya saja, dia menyebut ritel Miniso, KKV dan Mr.DIY yang menyediakan beragam aksesoris dan perlengkapan rumah dengan harga terjangkau.
"Jadi kita melihat kelas menengah bawah uang yang dipegang semakin sedikit, mereka belanjanya ke barang-barang yang lebih kecil nilainya [murah]," ujar Alphonzus saat ditemui usai membuka Indonesia Shopping Festival (ISF) di PIK Avenue, Kamis (8/8/2024).
Selain ritel-ritel tersebut, Alphonzus mengatakan bahwa ritel sektor makanan dan minuman (FnB) masih mendominasi pertumbuhan kinerja pusat perbelanjaan. Para konsumen menengah ke bawah cenderung memilih membelanjakan uangnya untuk kebutuhan pokok berupa makanan dan minuman.
Dia pun menilai bahwa bisnis di sektor properti khususnya pusat perbelanjaan akan terus tumbuh, meskipun tidak signifikan lantaran dibayangi daya beli yang lemah. Mal-mal baru dipastikan akan terus bermunculan, salah satunya, kata dia yaitu Pakuwon Mal Bekasi.
Baca Juga
Kendati begitu, Alphonzus menekankan agar pemerintah tidak memperburuk kondisi daya beli masyarakat dengan kebijakan kontraproduktif. Dia menyebut, wacana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%, hingga wacana asuransi kendaraan bermotor justru berisiko semakin memukul daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.
Namun, Alphonzus menilai bahwa keputusan pemerintah tidak menaikkan tarif listrik dan bahan bakar minyak (BBM) saat ini sudah tepat. Di sisi lain, untuk mendorong daya beli, pemerintah diharapkan bisa terus memberikan stimulus berupa bantuan sosial (bansos) secara tunai.
Alih-alih bantuan natura [barang] seperti beras dan sembako, bantuan tunai dianggap lebih ampuh meningkatkan daya beli masyarakat kelas bawah.
Sementara dari sisi pelaku usaha, Alphonzus mendorong agar para peritel bisa menggunakan strategi memproduksi barang dengan harga yang lebih terjangkau bagi kalangan menengah kebawah.
"Kita minta tolong iklim usahanya jangan dibikin semakin negatif," kata Alphonzus.