Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah optimistis stigma dirty nickel atau nikel kotor terhadap logam dasar andalan Indonesia ini bakal lucut seiring dengan terus digenjotnya pemanfaatan energi hijau dalam program hilirisasi yang dijalankan pemerintah.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Siti Sumilah Rita Susilawati mengatakan, pemanfaatan energi hijau telah berjalan di smelter nikel milik PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) yang menggunakan pembangkit listrik tenaga air sebagai sumber energi.
“Kemudian, ada upaya pemerintah mendorong penggunaan sumber energi gas untuk menggantikan energi fosil sehingga korelasi antara program penghiliran dengan pemanfaatan energi hijau akan menghapus stigma dirty nickel,” kata Rita kepada Bisnis baru-baru ini.
Tidak berhenti di situ, sambungnya, pemerintah juga mengeluarkan sejumlah kebijakan berikut langkah lainnya dalam rangka memacu penghiliran di Tanah Air. Beberapa di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pelarangan ekspor bahan mentah, serta insentif berupa royalti lebih rendah untuk bijih nikel yang digunakan sebagai bahan baku industri pembuatan baterai untuk kendaraan listrik.
Selanjutnya, kata Rita, pemerintah menyiapkan kebijakan untuk melawan stigma negatif terhadap tambang nikel, yaitu mendorong badan usaha untuk mengimplementasikan konsep environmental social governance (ESG).
“Pemerintah juga berupaya menangkal stigma dengan menjajaki konversi penggunaan energi fosil menjadi energi hijau dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan,” ucapnya.
Baca Juga
Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) Febriany Eddy menegaskan, praktik penambangan bersih sudah mengakar di operasional bisnis perseroan. Menurutnya, stigma aktivitas pertambangan nikel yang tinggi emisi karbon dan isu deforestasi kontras dengan praktik yang dilakukan INCO.
Secara konkret, aksi INCO dalam mengolah air limpahan limbah tambang yakni dengan menggunakan energi terbarukan dalam aktivitas peleburan. Bahkan, di dalam wilayah konsesi tambang, perseroan meminimalisir pembukaan lahan.
“Oleh karenanya, perencanaan tambang itu penting, kami hanya buka yang perlu dibuka. Aktivitas tambang dan reklamasi dilakukan bersamaan. Hingga kini, sudah 70% lahan yang sudah kami tutup kembali,” kata Febriany kepada Bisnis.
Sementara itu, untuk reklamasi baik wilayah di dalam maupun di luar konsesi tambang, secara total ada 300% yang sudah dilakukan. Tak hanya itu, hal yang berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan juga masuk ke dalam bagian INCO dalam merancang prioritas program, bujet dan pembiayaan.
Dia meyakini stigma negatif tak akan memengaruhi investor yang telah bekerja sama cukup lama dengan INCO.
“Kami ingin transparan, tentu ada yang tidak sempurna. Kalau memang ada yang perlu kita perbaiki di mana, dan berikan masukan, perbaiki bersama-sama,” ujarnya.