Bisnis.com, JAKARTA- Salah satu biang kerok banjirnya barang impor produk manufaktur di pasar domestik disebabkan hambatan perdagangan yang diterapkan sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Eropa terhadap produk dari China, pun sebaliknya.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif mengatakan kondisi tersebut memicu oversupply di negara produsen dan terjadi pengalihan ekspor ke negara yang minim restriksi, salah satunya Indonesia.
"Kalau kita ekspor ke China dan AS, macam-macam pembatasannya, syaratnya harus ini itu dan ada bea masuk, baik yang trade barrier maupun non trade barrier," kata Febri dalam bincang-bincang Factory Hub di BisnisTV, baru-baru ini.
Sementara, kebijakan pembatasan di Indonesia lebih sedikit dibandingkan AS. Alih-alih melakukan hambatan perdagangan, kebijakan terbaru Permendag 8/2024 justru merelaksasi impor berbagai komoditas, termasuk subsektor tekstil hilir.
Melihat kondisi tersebut, Kemenperin mendorong penerapan kebijakan trade remedies seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau Bea Masuk Antidumping (BMAD).
"Kita tahu bahwa saat ini ada negara produsen tekstil dan pakaian jadi lagi oversupply dan mereka berusaha mengeluarkan produk TPT dari negara mereka ke negara lain untuk ekspor. Ditambah mereka dapat subsidi dari pemerintahnya ketika mengekspor," tuturnya.
Sebelum menerapkan tarif bea masuk impor, Kemenperin juga mendukung revisi Permendag 8/2024 sesuai dengan hasil Rapat Terbatas (ratas) kabinet pekan lalu. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan untuk Kementerian/Lembaga terkait membahas penyesuaiannya.
Di sisi lain, Febri menyoroti produk pakaian jadi asal China yang masuk ke Indonesia dengan harga yang terlalu murah. Bahkan, setelah ditelusuri melalui trade map, barang tersebut jauh lebih murah dari harga produk yang masuk ke AS dan Jerman.
"Harga yang masuk ke Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga yang masuk ke AS atau Jerman, sampai tahun 2023 mungkin harganya bisa di atas 50% lebih tinggi," tuturnya.
Untuk itu, aturan relaksasi impor harus segera direvisi karena telah banyak berdampak ke pasar domestik. Indikasi dampaknya terlihat dari banyaknya industri tekstil dan konveksi yang tutup.
"Ketika industri konveksi di hilir itu tidak bisa menjual barangnya di domestik, maka dia juga tidak bisa membeli bahan baku ke industri tekstil, efek dominonya ke hulu," pungkasnya.