Bisnis.com, JAKARTA – Pengamat menilai kegiatan ekonomi yang tak terekam radar pajak atau shadow economy masih menjadi tantangan bagi pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan negara.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menuturkan pada dasarnya perputaran uang yang tidak melalui perbankan, alias dalam bentuk tunai atau cash, cenderung tidak tertangkap oleh transaksi neraca berjalan.
“Mengurangi [shadow economy] bagaimana? Upayakan transkasi yang lebih banyak cashless, dengan pembatasan transaksi cash maksimal Rp10 juta, itu akan mengurangi shadow economy, kalau banyak cash, itu nggak masuk radar pemerintah,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip Kamis (6/6/2024).
Menurutnya, data menjadi alat ukur utama untuk mengukur kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak. Namun, masalah kepercayaan menggerus kepatuhan masyarakat, terutama dengan banyaknya isu di lingkungan perpajakan.
Pada dasarnya, Indonesia menerapkan self-assessment dalam pelaporan pajak. Untuk itu, Ajib meminta pemerintah untuk mempercayai masyarakat dengan data-data yang dilaporkan, sepanjang tidak ada data pembanding.
Dengan demikian, data transaksi yang dilakukan secara digital atau cashless menjadi penting.
Baca Juga
Cara lainnya untuk mengurangi praktik ekonomi di luar radar pemerintah, yakni menggunakan single identification number yang kini tengah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak melalui pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
“Sebenarnya single identificaition number, pernah juga diinisiasi oleh Ditjen Pajak sejak 2000. Ini bukan hal baru, bukan hanya NIK NPWP, tapi 17 nomor unik jadi nomor tunggal, itu sudah di desain waktu itu. Itu salah satu cara reduce shadow economy,” lanjutnya.
Dari posisi produk domestik bruto (PDB) Indonesia 2023 di level Rp20.892 triliun, sebanyak 60% atau sekitar Rp12.000an triliun merupakan konsumsi rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga yang terekam dalam pendapatan negara dari komponen Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) pada 2023, hanya senilai Rp737,64 triliun.
“Dari Rp12.000 triliun, PPN kita hanya Rp700an triliun termasuk PPnBM. Artinya volume konsumsi yang dipajaki Rp7.000 triliun, berarti ada Rp5.000 triliun yang belum dipajaki, sangat mungkin itu shadow economyyang belum dipajaki,” jelasnya.
Pemerintah pun mengamini persoalan tersebut masih menjadi tantangan. Mirisnya, dengan semakin banyak transaksi cashless ataupun digital yang dilakukan, Kementerian Keuangan justru mencatat bahwa meningkatnya shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal.