Bisnis.com, TANGERANG — Repsol Indonesia menantikan kepastian harga karbon (carbon pricing) yang menarik untuk pengembangan penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) di Indonesia.
Commercial Manager and Planning Resources Repsol Indonesia Teresita Listyani mengatakan, pengembalian biaya operasi atau cost recoverability bakal menjadi kunci utama dalam pertimbangan pengembangan CCS untuk aset Repsol di Indonesia, Blok Sakakemang.
“Kita perlu mengembangkan CCS di bawah skema kontrak kerja sama [PSC] dan industri juga menantikan kebijakan untuk harga karbon yang menarik,” kata Teresita saat panel diskusi IPA Convex ke-48, ICE BSD City, Rabu (15/5/2024).
Selain itu, kata Teresita, pihaknya tengah menantikan insentif fiskal dari pemerintah untuk mendorong keekonomian proyek penangkapan gas buang tersebut saat ini.
Kendati demikian, dia menegaskan, Repsol bakal menantikan lelang wilayah izin penyimpanan karbon tersebut yang kemungkinan dibuka Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun depan.
“Segala hal itu membutuhkan kolaborasi antar stakeholder termasuk bantuan fiskal lewat PSC, lisensi atau izin,” tuturnya.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah tengah mendorong pengembangan CCS hub untuk menekan biaya investasi fasilitas CCS domestik.
Konsepnya, pemerintah bakal menarik industri hilir saling berdekatan sebagai collective emitter untuk menekan biaya angkut karbon dalam suatu kawasan reservoir penyimpanan karbon. Dengan demikian, biaya transportasi hingga penyimpanan karbon itu bisa ditekan seminimal mungkin.
“Jadi ada industri yang menghasilkan emisi dan berdekatan nanti transportasi [karbon] lebih gampang kalau berdekatan bisa pakai pipa atau shipping kalau offshore,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Carbon Capture and Storage (ICCS) Belladona Troxylon Maulianda saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Belladona mengatakan, saat ini biaya investasi serta operasi CCS di dalam negeri terbilang mahal. Hal itu disebabkan karena Indonesia belum memiliki teknologi dan kemampuan kapasitas manufaktur untuk membuat rantai pasok fasilitas tangkap karbon itu.
Kementerian ESDM melaporkan biaya pengembangan CCS sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan karbon dioksida (CO2), yakni sekitar 73% dari keseluruhan biaya.
Berdasarkan studi Economic Research Institute for Asean and East Asia (ERIA), biaya penangkapan karbon sekitar US$45,92 per ton dan penyimpanannya sekitar US$15,93 per ton.
Sementara itu, menurut riset Boston Consulting Group (BCG), nilai pasar dari CCS pada 2030 diproyeksikan mencapai US$134 miliar, yang berasal dari kegiatan penyimpanan, transportasi, hingga penangkapan karbon.
Selanjutnya, nilai transaksi CCS pada 2040 diperkirakan melesat ke angka US$440 miliar atau naik 26% dari posisi pada 2020 di level US$4 miliar.
Berdasarkan identifikasi pada 20 cekungan produksi, Kementerian ESDM memperkirakan kapasitas penyimpanan karbon domestik pada lapisan saline aquifer mencapai 572,77 gigaton CO2 (karbon dioksida), jauh lebih tinggi dari perhitungan pada 2015 lalu di level 9,7 gigaton CO2.
Sementara itu, potensi penyimpanan pada lapisan depleted migas dari hitung-hitungan terbaru mencapai 4,85 giga ton CO2, lebih tinggi dari perkiraan pada 2015 lalu di level 2,5 gigaton CO2.
Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage sekitar 80 gigaton CO2 pada saline aquifer, sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 giga ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia.
Saat ini, terdapat 128 cekungan migas yang potensial untuk dikembangkan. Sementara itu, terdapat 27 cekungan yang telah masuk tahap temuan dan lainnya masih berstatus prospektif alias belum dieksplorasi.