Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia Gas Society (IGS) menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan pemberlakuan harga khusus untuk gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) sebagai alternatif dalam mengatasi defisit pasokan gas pipa saat ini.
Chairman IGS Aris Mulya Azof berpendapat pemerintah dapat memberlakukan subsidi atau insentif fiskal untuk mendorong penggunaan LNG sebagai alternatif bagi industri yang mengalami defisit pasokan gas.
“Sebagai alternatif industri yang mengalami defisit pasokan gas,” kata Aris saat dihubungi, Selasa (7/5/2024).
Menurut Aris, insentif harga khusus untuk LNG itu bisa memberi kepastian keekonomian bagi penyedia gas, baik dari sisi investasi infrastruktur maupun untuk penyediaan LNG itu sendiri nantinya.
Sementara itu, kata dia, pemerintah perlu investasi yang cukup masif dalam pembangunan infrastruktur penyimpanan dan distribusi gas alam cair itu. Dengan demikian, akses dan adopsi pada LNG bisa lebih terjangkau untuk industri pengguna nantinya.
“Hal yang perlu menjadi perhatian untuk mendorong pemanfaatan LNG sebagai salah satu mitigasi atas menurunnya pasokan domestik adalah kepastian keekonomian bagi pemasok, baik dari sisi investasi infrastruktur dan penyediaan LNG-nya itu sendiri,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyiapkan dua kargo LNG tambahan untuk PT Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN (PGAS). Kargo gas alam cair itu bakal ditarik dari Kilang Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro menuturkan, PGN telah menyampaikan rencana untuk mengambil dua kargo LNG pada triwulan ketiga tahun ini.
“Terkait harga [kontrak] saat ini masih menunggu penawaran dari PGN lalu kemudian akan didiskusikan dengan penjual dan SKK Migas,” kata Hudi saat dikonfirmasi, Kamis (18/4/2024).
Menurut Hudi, harga LNG itu nantinya dapat berbentuk formula dengan mengacu pada harga minyak mentah Indonesia.
Sementara itu, Hudi menerangkan, tambahan kargo LNG itu belakangan diperlukan untuk menambal defisit pasokan gas pipa dari beberapa lapangan di kawasan Sumatra bagian tengah, Sumatra Selatan, dan Jawa bagian barat.
Beberapa lapangan yang mengalami penurunan salur gas itu, di antaranya Blok Corridor, PEP Sumatra Selatan (Regional 1), PEP Jawa Barat (Regional 2), PHE Jambi Merang dan sejumlah kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di kawasan tersebut.
Penurunan produksi gas karena berbagai kondisi yang ada di sisi hulu, mulai dari penurunan alamiah produksi sumur migas serta perbaikan dan perawatan sumur, baik yang berkala maupun yang tidak direncanakan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui adanya defisit pasokan gas di wilayah barat. Pemerintah pun tengah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur pipa gas untuk dapat mengalirkan pasokan gas di Jawa Timur yang berlebih ke wilayah Indonesia bagian barat.
"Ya memang ada defisit suplai dari barat makanya kita percepat pipanya, tapi itu butuh waktu," ujar Arifin, Jumat (8/3/2024).
Untuk itu, alternatif yang paling memungkinkan saat ini guna menambal defisit pasokan gas untuk industri di wilayah barat adalah dengan memanfaatkan LNG.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa harga gas yang bersumber dari LNG akan lebih mahal bila dibandingkan dengan harga gas pipa. Hal ini lantaran LNG memiliki rantai bisnis yang lebih panjang untuk sampai ke pelanggan, mulai dari proses pendinginan, transportasi, penyimpanan, dan regasifikasi.
"Ya susah [harga LNG lebih kompetitif dari gas pipa]. Kalau gas kan dicairin, diangkut, nah itu kan ada ongkosnya. Tapi kan kita harus pikirkan satu, security energy," jelas Arifin.