Bisnis.com, JAKARTA- Kementerian Perindustrian tengah meracik sejumlah kebijakan insentif dan relaksasi impor bahan baku untuk mengantisipasi dampak gangguan rantai pasok industri imbas konflik memanas di Timur Tengah.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan pihaknya terus memantau gejolak geopolitik dunia, terlebih setelah konflik panas Iran dan Israel. Eskalasi konflik diwaspadai berdampak ke negara-negara Asean, termasuk Indonesia.
"Saat ini, Kemenperin telah memetakan permasalahan dan berupaya melakukan mitigasi solusi-solusi dalam rangka mengamankan sektor industri dari dampak konflik yang tengah terjadi,” kata Agus melalui siaran pers, Kamis (18/4/2024).
Setidaknya, ada 3 dampak yang dipengaruhi konflik Timur-Tengah yaitu kenaikan harga energi, melonjaknya ongkos logistik, dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Ketiga dampak tersebut menjadi konsekuensi perekonomian dan supply chain global.
Untuk itu, pemerintah disebut tengah menganalisa dan menyiapkan kebijakan tepat untuk memitigasi pemgaruh konflik terhadap sektor manufaktur di dalam negeri. Pihaknya juga akan segera melakukan koordinasi dengan para pelaku industri.
Di samping itu, Agus memaparkan solusi yang dirumuskan pihaknya meliputi penyiapan insentif impor bahan baku industri dari Timur Tengah. Hal ini lantaran potensi gangguan suplai bahan baku industri, khususnya sektor industri kimia hulu yang mengimpor sebagian besar bahan baku dari kawasan tersebut.
Baca Juga
"Relaksasi impor bahan baku tertentu juga dibutuhkan untuk kemudahan memperoleh bahan baku, mengingat negara-negara lain juga berlomba mendapatkan supplier alternatif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya," jelasnya.
Tak hanya itu, Kemenperin juga akan mempercepat langkah-langkah pendalaman, penguatan,maupun penyebaran struktur industri, yang bertujuan untuk segera meningkatkan program substitusi impor.
Pasalnya, menurut dia, hal teraebut perlu didukung dengan memperketat ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mengantisipasi excess trade diversion dari negara lain ke Indonesia.
"Artinya, Kementerian/Lembaga harus lebih disiplin dalam pengadaan belanja barang dan jasa dengan menggunakan Produk Dalam Negeri," terangnya.
Lebih lanjut, dia menilai kondisi ini juga merupakan momen yang tepat bagi industri untuk mendapatkan kepastian keberlanjutan implementasi kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Konflik Timur Tengah berisiko memicu peningkatan harga energi dapat berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan daya saing subsektor industri. Maka, kebijakan HGBT sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing produksi.
Transaski bilateral dengan menggunakan mata uang lokal (Local Currency Transaction) juga mesti dilakukan Indonesia dengan negara mitra. Artinya, RI dan negara mitra dapat membayar atau menerima dalam mata uang lokal tanpa dolar AS.
"Langkah ini untuk mengurangi ketergantungan terhadap hard currencies, terutama USD, mengingat skala ekonomi dan volume perdagangan antar negara Asia terus meningkat, juga untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar Rupiah,” ungkapnya.
Selain itu, upaya memperbaiki performa sektor logistik untuk mendukung pertumbuhan sektor industri juga perlu ditempuh.
Di sisi lain, Agus juga menyoroti rasio pinjaman produktif di RI yang lebih rendah dibandingkan pinjaman konsumtif yang menunjukkan perlunya kemudahan memperoleh kredit untuk industri.
Bila melihat kondisi di Tiongkok, kredit lebih banyak mengalir ke sektor produksi dibandingkan ke konsumsi. Agus berharap rasio kredit di Indonesia juga dapat bergeser dan didominasi oleh kredit produksi, sehingga industri bisa semakin berkembang.