Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Konflik Iran-Israel Bisa Berdampak ke Ekonomi Indonesia, Jadi Tantangan Pemerintahan Baru

Konflik antara Iran dan Israel bisa berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia, sehingga jadi tantangan untuk pemerintah selanjutnya.
Tentara Israel duduk di dalam kendaraan militer, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, dekat perbatasan dengan Gaza, di Israel selatan, 18 Desember 2023. REUTERS/Ronen Zvulun
Tentara Israel duduk di dalam kendaraan militer, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, dekat perbatasan dengan Gaza, di Israel selatan, 18 Desember 2023. REUTERS/Ronen Zvulun

Bisnis.com, JAKARTA — Iran baru-baru ini melancarkan serangan ke Israel sebagai respons atas serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah, awal bulan ini.

Serangan Iran ke Israel untuk pertama kalinya itu menandai babak baru dalam perselisihan antara kedua negara yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan terus meningkat sejak Israel menyatakan perang terhadap Hamas pada Oktober 2023 lalu.

Menilai ketegangan tersebut, Ekonom dan Guru Besar FEB UI Mari Elka Pangestu menyebutkan bahwa serangan tersebut juga bisa berpengaruh pada ekonomi Indonesia, meskipun belum jelas seperti apa langkah-langkah kedua negara tersebut selanjutnya. 

"Perkiraannya eskalasinya kemungkinan rendah, karena tidak ada yang mau terjadi eskalasi yang akan merugikan, termasuk ke Amerika, karena akan ada banyak sumber daya yang harus dikeluarkan, terlebih tahun ini juga tahun pemilihan umum di AS," ungkapnya dalam webinar Eisenhower Fellowships Indonesia x IDN Times, Senin (15/4/2024). 

Mari menyebutkan, atas konflik tersebut dampak ekonominya antara lain adalah harga minyak akan meningkat jika terjadi eskalasi. 

Sebelum serangan balasan, harga minyak sudah mengalami kenaikan. Namun, dengan adanya serangan balik, harga minyak akan lanjut naik, yang berpengaruh pada inflasi akan meningkat. 

Ada pula perkiraan dalam konteks harga minyak, di mana Biden diperkirakan juga akan mengenakan sanksi terhadap minyak dari Iran. 

Saat ini Iran memproduksi 3 juta barel per hari, dan ekspor 1 juta barel per hari. Jika terjadi sanksi, akan ada supply shock di samping pengurangan produksi dari OPEC, dan di sisi lain permintaan juga sedang mengalami peningkatan.

"Inflasi yang naik akan menghambat pemulihan ekonomi AS, suku bunga susah turun, dolar AS akan menguat dan harga emas akan naik," jelasnya. 

Lantas seperti apa pengaruhnya untuk ekonomi Indonesia? 

"Saya lihat ada laporan, per 12 April harga emas naik 16%, harga minyak, US Treasury Bond 10 year juga sudah naik dan dolar AS terus menguat. Kemudian untuk Indonesia, rantai pasok impor melalui Suez Canal akan mengalami gangguan akan mengganggu impor kita seperti minyak, gandum, dan lainnya," jelasnya. 

Mari menyebutkan, gejolak harga minyak, inflasi, dan harga komoditas yang lain akan mempengaruhi Indonesia, dan rupiah yang sudah melemah hingga bisa melemah lebih jauh lagi, bond yield turun, dan IHSG juga bisa ikut turun. 

"Ini akan menyebabkan masalah anggaran dan fiskal, defisit anggaran karena kalau harga minyak naik, subsidi BBM akan naik kecuali harga BBM mau dinaikkan, ini jadi tantangan untuk pemerintah yang baru," imbuhnya. 

Senada, Dirjen Migas Tutuka Ariadji menyebutkan bahwa saat ini masih wait and see, di mana dampak jangka panjangnya masih perlu menunggu respons Israel, respons investor, produsen dan konsumen. 

"Untuk kenaikan harga minyak ke depan akan mengandung risiko geopolitik dan anggota OPEC saya kira akan meredam kenaikan harga ke depan untuk menyeimbangkan harga," katanya. 

Pasalnya, di indonesia, untuk setiap kenaikan harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP) US$1 per barel akan berdampak pada kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar Rp1,8 triliun. Namun, kenaikan subsidi juga sama sekitar 1,8 triliun, dan kompensasi energi mencapai Rp5,3 triliun.

Kemudian untuk kenaikan kurs, tiap Rp100 per dolar AS akan berdampak pada PNBP kenaikan Rp1,8 triliun. Namun, akan ada kenaikan subsidi energi sekitar Rp1,2 triliun dan kompensasi Rp3,9 triliun.

Mengenai subsidi dan kompensasi BBM, solar dan LPG, jika ICP diperkirakan naik sampai US$100 per barel, maka subsidi dan kompensasi BBM naik menjadi Rp200 triliun—250 triliun dari sekarang, dengan asumsi APBN sekitar Rp161 triliun. 

Kemudian, subsidi LPG juga bisa naik menjadi Rp106 triliun dari asumsi sekarang APBN Rp83,2 triliun. 

"Tentunya totalnya akan sangat besar kalau kita totalkan. Bisa sampai Rp213 triliun total subsidi kompensasi BBM dan LPG," jelasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper