Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkap dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menjadi beban tambahan industri tekstil saat ini.
Adapun, merujuk pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah melemah atau turun sebesar 0,13% atau 21 poin ke posisi Rp15.913 per dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (5/4/2024).
Sekjen APSyFI, Farhan Aqil mengatakan rupiah yang lesu dapat mengerek naik ongkos produksi mengingat bahan baku industri didominasi impor. Hal ini juga dapat menghambat peningkatan utilisasi produksi yang masih di bawah 50%.
"Kalau melemahnya rupiah ini pasti bakal pengaruhi ongkos produksi. Rata-rata kalau industri serat dan benang filamen bahan bakunya 90% masih impor," ujar Farhan saat dihubungi, Jumat (5/4/2024).
Apalagi, Farhan menyebut bahwa saat ini pasar domestik masih konsefvatif dan memilih sikap wait and see terkait efek lartas impor Permendag 36/2023 yang diberlakukan pada awal Maret 2024 lalu.
Lartas impor tersebut mestinya menjadi sinyal kebangkitan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menahan laju impor pakaian ilegal. Dengan demikian, cuan momentum Ramadan dapat dirasakan pengusaha.
Baca Juga
"Kemarin juga kita dapat kabar dari IKM sudah banyak ordernya. Harapannya 2-3 bulan kedepan efek meningkatnya order ini sampai ke midstream dan upstream," tuturnya.
Kendala juga terjadi dari pasar ekspor TPT, khususnya ke Taiwan yang baru-baru ini diadang gempa berkekuatan magnitudo 7,2. Kondisi ini membuat rantai pasok permesinan tekstil terancam.
Meskipun, untuk eskpor tekstil ke negara tersebut disebut tidak akan terganggu lantaran jumlah ekspor yang minim dan fokus industri yang saat ini tengah memperbaiki kinerja produksi untuk domestik.
"Jadi konsentrasinya pasti saat ini mensuplai kebutuhan domestik. Walaupun ada beberapa ekspor tekstil kita kesana tapi memang hanya sedikit. Antisipasi pasar ekspor yang melemah sekarang adalah memperkuat dan memperbaiki integrasi industri TPT," pungkasnya.