Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menilik Laju BI Rate Usai Ditahan 5 Bulan Beruntun pada Level 6%

Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6% selama 5 bulan beruntun. Bagaimana prospeknya ke depan?
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Rabu (20/3/2024). Bisnis/Arief Hermawan P
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan keterangan saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Rabu (20/3/2024). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 19-20 Maret memutuskan kembali mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI Rate untuk kelima kalinya pada level 6% sejak November 2023.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa tetap ditahannya suku bunga acuan guna mendukung upaya stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah kondisi pasar keuangan global yang masih bergejolak.

Hal ini juga untuk memastikan laju inflasi di dalam negeri tetap terjaga pada sasaran target 1,5 hingga 3,5%.

“Keputusan mempertahankan BI Rate pada level 6,00% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability, yaitu untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024,” katanya dalam konferensi pers hasil RDG, Rabu (21/3/2024).

Perry menjelaskan, di sisi eksternal, suku bunga di Amerika Serikat (AS), Fed Funds Rate (FFR), diperkirakan turun pada semester II/2024. Sementara pasar, ada yang memperkirakan FFR akan dipangkas mulai Juni 2024.

Berdasarkan bacaan BI secara fundamental, laju inflasi di AS masih di atas sasaran, bahkan berpotensi tetap tinggi hingga tahun depan.

“Pertumbuhan ekonomi AS juga masih Solid sehingga kemungkinan-kemungkinan bacaan kami itu, The Fed akan tetap sabar di semester II,” jelas Perry.

Hal ini pun melanjutkan ketidakpastian di pasar keuangan global, yang tercermin dari tingkat imbal hasil US Treasury yang meningkat. 

Akibatnya, dolar AS berlanjut menguat dan membatasi aliran masuk modal asing, serta meningkatkan tekanan pada nilai tukar negara emerging market, termasuk Indonesia.

Sebagaimana diketahui, The Fed pada pertemuan FOMC 19-20 Maret 2024 pun memutuskan kembali mempertahankan FFR pada kisaran 5,25%-5,5%. Dalam hal ini, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan tetap membuka opsi penurunan FFR sebanyak tiga kali pada tahun ini.

Untuk suku bunga acuan, BI masih akan melihat celah penurunan pada semester kedua 2024. Oleh karena volatilitas yang masih tinggi, ruang untuk penurunan BI Rate pun bisa jadi lebih cepat atau tetap ditahan dalam jangka waktu yang lebih lama.

“Itu kemudian juga salah satunya untuk bagaimana stance kebijakan BI rate tetap 6% tetap dan kami juga baru melihat ruang terbuka penurunan suku bunga BI Rate itu di semester II. Itu baseline skenario. Tapi, tentu saja bisa maju, bisa mundur,” kata Perry.

Kondisi Perekonomian Domestik

Di dalam negeri, BI optimistis pertumbuhan ekonomi tetap terjaga sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global, kendati gejolak di pasar keuangan masih belum reda.

Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 tetap kuat, dengan potensi pertumbuhan pada kisaran 4,7% hingga 5,5%, dengan titik tengah di 5,1%.

Pertumbuhan ini terutama didukung oleh permintaan domestik yang baik di konsumsi rumah tangga, tercermin dari baik Indeks Keyakinan Konsumen, Indeks Penjualan Riil, maupun PMI Manufaktur yang berada di zona optimis. 

Selain itu, BI juga memperkirakan prospek investasi di dalam negeri tetap baik terutama dengan berakhirnya wait & see investor setelah ada kepastian dari hasil Pilpres 2024.

Lebih lanjut, BI optimistis neraca pembayaran Indonesia (NPI) akan tetap menopang ketahanan eksternal Indonesia, di mana transaksi berjalan pada 2024 diperkirakan deficit renda 0,1% hingga 0,9% dari PDB.

Neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan akan melanjutkan surplus yang didukung oleh aliran masuk modal asing, meski terjadi outflows pada awal tahun dikarenakan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Oleh karena itu, nilai tukar rupiah juga diyakini akan stabil dengan kecenderungan menguat. Per 19 Maret 2024, nilai tukar rupiah melemah sebesar 2,02% dibandingkan dengan level pada akhir Desember 2023

Perry mengatakan, depresiasi tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan ringgit Malaysia, won Korea, dan baht Thailand yang masing-masing melemah sebesar 3,02%, 3,87%, dan 5,39%.

Di samping itu, BI optimistis laju inflasi tahu ini akan tetap terkendali dalam sasaran 1,5% hingga 3,5%. Tekanan inflasi, terutama pada harga bergejolak (volatile food) dipastikan temporer, yang dipengaruhi oleh dampak El-Nino, faktor musiman, dan pergeseran musim tanam, yang terutama terjadi pada komoditas beras, dan cabai merah.

“BI akan terus memperkuat kebijakan moneter pro-stability dan meningkatkan sinergi kebijakan dengan pemerintah pusat dan daerah sehingga inflasi tahun 2024 tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1%,” kata Perry.

Perry juga menegaskan, respons dan inovasi instrumen kebijakan moneter akan terus diperkuat untuk memastikan inflasi terkendali dan nilai tukar rupiah tetap stabil.

Per 19 Maret 2024. BI mencatat hasil lelang instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) masing-masing tercatat sebesar Rp409,38 triliun, US$2,31 miliar, dan US$387 juta.

Adapun, kepemilikan nonresiden pada instrumen SRBI tercatat telah mencapai Rp85,02 triliun atau 20,77% dari total outstanding.

Sementara itu, Perry menegaskan bahwa kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran BI akan tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Gubernur BI Perry Warjiyo. JIBI/Bisnis
Gubernur BI Perry Warjiyo. JIBI/Bisnis

Tantangan BI Tentukan Arah Suku Bunga Kebijakan

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai bahwa dengan adanya berbagai risiko moneter, BI akan cenderung lebih ragu untuk memangkas suku bunga acuan lebih awal. 

Dia menjelaskan risiko terhadap stabilitas masih relatif tinggi baik karena faktor domestik maupun internasional. 

Dari sisi domestik, yaitu risiko inflasi dalam jangka pendek, terutama karena lonjakan inflasi harga bergejolak, terutama terkait harga pangan yang disebabkan oleh dampak El-Nino dan menguatnya permintaan bahan pangan selama bulan Ramadan dan Idulfitri. 

“Selain itu, menyempitnya surplus perdagangan di bulan Februari 2024 juga menjadi risiko yang perlu diantisipasi ke depan, terutama karena kinerja ekspor yang melemah,” kata Josua.

Pasar keuangan global juga masih diliputi ketidakpastian dari kebijakan moneter the Fed terkait pemangkasan suku bunga acuan. 

“Dalam 2 bulan terakhir, ekspektasi pasar bergeser dari sekitar 100-125 bps [basis poin] menjadi 75-100 bps penurunan suku bunga karena indikator ekonomi AS, terutama inflasi masih mencatatkan angka yang solid, sehingga mendorong investor untuk memperkirakan The Fed akan lebih berhati-hati dalam menurunkan suku bunga,” jelasnya.

Josua memperkirakan, BI akan memangkas BI-rate sebesar 50 bps menjadi 5,50% pada semester kedua 2024.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan kebijakan BI utamanya akan mendukung stabilitas keuangan dan menarik arus modal masuk di tengah ketidakpastian global.

Hal ini dikarenakan volatilitas pasar masih konsisten dengan pendekatan the Fed yang berhati-hati dalam menurunkan suku bunga. Dia memperkirakan FFR akan turun pada semester II/2024.

Selain itu, imbuhnya, Indeks Dolar (DXY) yang bergerak ke level 103-104 mengindikasikan bahwa dolar AS masih terapresiasi terhadap rupiah dan mata uang utama lainnya.

Namun demikian, likuiditas menurutnya akan membaik seiring meningkatnya belanja pemerintah karena adanya pemilihan kepala daerah di kuartal IV/2024, yang diikuti dengan penurunan suku bunga, masuknya arus modal asing ke pasar domestik, serta pergeseran dari sikap wait & see di kalangan pengusaha.

“Ke depannya, kebijakan BI yang pro-market melalui penerbitan instrumen baru diproyeksikan dapat menarik aliran dana asing dan meningkatkan cadangan devisa, sehingga dapat mengurangi tekanan eksternal terhadap pelemahan rupiah lebih lanjut,” kata Andry.

Senada, menurut Ekonom Bank Danamon Irman Faiz, BI ke depan masih akan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Dia menilai, kebijakan penyesuaian tingkat suku bunga acuan masih akan menantang bagi BI di tengah masih meningkatnya tingkat imbal hasil US Treasury dan ketidakpastian mengenai arah kebijakan The Fed.

“Secara keseluruhan, kami masih memperkirakan BI untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 bps di paruh kedua tahun ini, dengan mempertimbangkan ekspektasi penurunan suku bunga the Fed sebesar 75 bps sepanjang 2024,” kata Faiz.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper