Bisnis.com, JAKARTA- Ketimpangan ekonomi masih merekat di 3 provinsi utama pengoperasian industri olahan nikel yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Pertumbuhan ekonomi yang melesat di ketiga wilayah tersebut tidak serta merta menunjukkan keberhasilan hilirisasi mineral.
Hal ini yang menjadi sorotan dalam Laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (Celios) bertajuk "Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel".
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kegiatan industri pengolahan nikel memiliki dampak yang kecil terhadap pengurangan angka ketimpangan ekonomi antarwilayah.
"Ketimpangan bahkan bisa memburuk di tahun-tahun berikutnya ketika dampak dari eksternalitas negatif menjadi lebih nyata," kata Bhima, dikutip Rabu (21/2/2024).
Eksternalitas negatif yang dimaksud yaitu kerusakan ekologi hingga dampak kesehatan dari berbagai aktivitas olahan nikel. Sebab, kondisi tersebut akan menimbulkan beban besar terhadap perekonomian daerah.
"Sehingga meskipun ada langkah-langkah mitigasi, kesenjangan tidak akan dapat diatasi secara signifikan," imbuhnya.
Baca Juga
Dia menunjukkan tingkat ketimpangan regional/provinsi dijelaskan melalui Indeks Williamson. Indeks ini menggambarkan ketimpangan pendapatan per kapita antar wilayah dengan rentang nilai dari 0 hingga 1.
Semakin mendekati 1, semakin tidak merata atau semakin tinggi ketimpangannya. Dari ketiga wilayah tersebut, indeks Williamson pada tahun pertama hingga kelima pembangunan smelter, ketimpangan berada di level 0,74-0,73 dan berada di level 0,72 pada tahun ke-15.
Alih-alih pertambangan, dia melihat peluang meredam ketimpangan ekonomi di sektor lain. Sebagai contoh, di Sulawesi Tengah pada tahun 2023 , sektor pertanian mampu menyumbang lapangan kerja 38,85% lebih banyak dibandingkan sektor pertambangan yang hanya 2,39% dan industri pengolahan yang hanya 9,36%.
Tak hanya itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga masih diikuti dengan peningkatan angka kemiskinan khususnya di kawasan industri smelter nikel.
Di Morowali , angka kemiskinan mencapai 12,58% pada tahun 2022. Lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang tidak memiliki smelter. Angka kemiskinan di Kabupaten Sigi yang tidak memiliki smelter hanya sebesar 12,30%. Angka kemiskinan di Morowali bahkan lebih tinggi dibandingkan rata-rata provinsi.
"Ketimpangan wilayah pertambangan ini merupakan konsekuensi dari pembangunan industri padat modal," ujarnya.
Terlebih, minimnya kontribusi ekonomi industri nikel di wilayah lokasi smelter dan tambang juga disebabkan karena hampir seluruh pemangku kepentingan industri dikuasai oleh perusahaan multinasional dan bank asing.
"Baik dari tenaga kerja, teknologi industri, hingga pembiayaan perbankan dikuasai pihak swasta asing. Hal ini menyebabkan distribusi manfaat ekonomi tidak merata," tambahnya.
Celios menilai masyarakat yang berada di kawasan pertambangan tidak akan menerima manfaat, melainkan beban tanggungan atas kerugian sosial, ekonomi, lingkungan, dan kesehatan yang tidak diperhitungkan dalam tingkat kebijakan.