Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ryan Kiryanto

Ekonom, Co-Founder dan Dewan Pakar Institute of Sosial Economic and Digital (ISED)

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Mencermati Outlook Ekonomi Global 2024

Pertanyaan tentang bagaimana prospek, tantangan dan peluang perekonomian global pada 2024 makin mengemuka.
Ilustrasi resesi ekonomi global 2023/Freepik
Ilustrasi resesi ekonomi global 2023/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Pertanyaan tentang bagaimana prospek, tantangan dan peluang perekonomian global pada 2024 makin mengemuka. Perubahan berbagai variabel global yang dinamis dan cepat membuat perkiraan wajah perekonomian dunia tahun depan menjadi beragam: ada yang optimis, ada yang moderat dan bahkan tidak sedikit yang pesimis.

Di Eropa, pemulihan ekonomi membutuhkan waktu lebih lama ketimbang pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS). Masyarakat dan pebisnis AS mampu menerima kenyataan terhadap situasi yang terjadi –yakni suku bunga The Fed yang tinggi di level 5,25-5,50%-- sehingga aktivitas ekonomi tetap bergulir.

Hal yang kurang lebihnya sama juga terjadi di negara-negara Eropa setidaknya telah mampu menghindari krisis energi yang parah. Sementara ekonomi AS mampu tumbuh positif secara konsisten –sebesar 2,0%; 2,1% dan 5,2% di kuartal pertama, kedua dan ketiga tahun ini.

Efek perang di Ukraina memang membelenggu negara-negara Eropa untuk bisa cepat bangkit. Inflasi yang melejit tinggi –secara rerata sempat menyentuh level 10%-- sebagai effek negatif perang menghambat proses pemulihan karena mencuat krisis biaya hidup dihadapi mayoritas negara-negara Eropa.

Negara besar di Uni Eropa–sebut saja Jerman, Perancis, dan Italia—terjerembab dalam kondisi ekonomi yang lemah karena efek spiral dari perang di Ukraina yang belum terdeteksi kapan berakhirnya. Sementara Spanyol, ekonomi yang dipimpin sektor jasa, telah mendapat manfaat dari permintaan domestik yang kuat sehingga bergerak ke atas (positif).

Tetapi Jerman, ekonomi berbasis manufaktur, terus berjuang keras dengan persaingan, ketidakstabilan geopolitik dan penurunan permintaan global terhadap barang-barang konsumsi. Ekonomi Inggris termasuk negara Eropa yang terpukul lebih parah karena kombinasi krisis ekonomi dan politik. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa beberapa waktu lalu –dikenal dengan Brexit—ikut dituding mempersulit pemulihan ekonomi negara ini ketika efek perang melanda.

India, ekonomi di Asia yang juga dipimpin sektor jasa, mampu menikmati kuatnya permintaan domestik (pasca pandemi Covid-19 melanda hebat negara ini) dan terhindar dari kendala pasokan, yang tecermin dalam industri perjalanan dan pasar tenaga kerja.

Sementara itu proses pemulihan ekonomi Tiongkok, sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia, justru lebih tertatih-tatih membangun kembali perekonomiannya. Kebijakan total lockdown dituding sebagai penyebab dominan jatuhnya perekonomian Tiongkok karena hampir menyeluruh mampu mematikan aktivitas ekonomi masyarakat.

Perubahan perkembangan ekonomi tiga kawasan atau negara besar di atas –yakni Uni Eropa, AS, Tiongkok—disinyalir sebagai gambaran terjadinya divergensi atau fragmentasi ekonomi global. Untuk mencegah berlanjut dan meluasnya gejala fragmentasi itulah yang mendorong Dana Moneter Internasional (IMF) mengajak negara-negara di dunia untuk berkolaborasi satu dengan lainnya dalam koridor pulih bersama lebih kuat.

Beberapa Agenda 2024

Jika menilik perkiraan ekonomi dunia di 2024 merujuk kepada sejumlah lembaga internasional, terbentuk pola pemikiran yang sama bahwa mengakhiri 2023 ini –pertumbuhan ekonomi berkisar 2,7-3,0%-- akan berlanjut di 2024 dengan tendensi melemah pada kisaran 2,5-2,8%. Bahkan ada yang ekstrim mematok 2,1%.

Terdapat beberapa penyebab gambaran perekonomian global di 2024 cenderung melemah dibanding 2023. Pertama, efek kebijakan moneter ketat –ditandai dengan suku bunga acuan yang tinggi dan berkepanjangan—telah memperlemah perekonomian di sejumlah negara, termasuk negara-negara maju kelompok G7.

Kedua, berlarut-larutnya perang di Ukraina telah menciptakan kegamangan relasi antar negara dalam konteks multilateral dan/atau bilateral karena di tengah perang tersebut berdiri dua negara yang berseberangan: yakni Rusia dan AS. Bahkan kelompok North Atlantic Treaty Organization (NATO), Pakta Pertahanan Atlantik Utara, berada di kubu AS dan Ukraina.

Perang ini membuat kelancaran rantai pasokan global terganggu sehingga menaikkan harga barang (karena ongkos logistik naik dan ketersediaan barang terbatas) sehingga berdampak pada inflasi yang melejit tinggi dan harus dijinakkan dengan menaikkan suku bunga acuan dengan segala ekses negatifnya bagi perekonomian.

Proses disinflasi berjalan lebih lambat dibanding kenaikan inflasinya sehingga menimbulkan tagline baru “higher for longer” di sejumlah negara. Maka, kepuytusan The Fed pada pertemuan Desember ini yang menahan suku bunga acuan tetap di level 5,25-5,50% memberikan sinyal kuat bahwa bank-bank sentral negara lain berpotensi mengikuti langkah ini seraya menanti waktu terbaik yang tepat untuk memulai melandaikan suku bunga acuan.

Ketiga, pemulihan ekonomi China yang lamban karena restorasi sektor properti yang ambruk membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Jatuhnya sektor properti di masa pandemi Covid-19 dan hingga kini masih berlangsung memberikan tekanan berat bagi perekonomian secara multisektor.

Dengan share produk domestik bruto (PDB) Tiongkok terhadap PDB dunia yang berkisar 18%, maka melemahnya perekonomian Tiongkok tentu membawa efek negatif bagi perekonomian dunia, kawasan dan negara per negara yang menjadi mitra dagang Tiongkok. Inilah yang juga melatarbelakangi sejumlah lembaga internasional terpaksa harus mendiskon outlook pertumbuhan ekonomi global di 2024.

Keempat, perlunya perhatian ekstra kepada negara-negara berpenghasilan rendah (low income countries) baik di Afrika, Amerika Latin dan Asia agar resiliensi perekonomian global lebih merata dan terdistribusi. Maka, tepat jika IMF selalu mendorong perlunya kolaborasi antarnegara untuk menciptakan pemulihan ekonomi global serentak.

Kelima, kebijakan fiskal di berbagai negara diperkirakan masih akan tetap menjalankan peran strategisnya untuk menyerap tekanan sosial dan ekonomi, meskipun rasio defisit fiskal tetap harus menjadi perhatian utama agar tidak melampaui treshold atau ambang batas. Anggaran jaring pengaman sosial menjadi instrumen penting untuk tetap mempu menjaga daya beli masyarakat sehingga permintaan tidak terlalu tertekan.

Catatan Penutup

Langkah The Fed, bank-bank sentral di Eropa dan Asia yang mulai menahan suku bunga acuan memberikan pertanda positif bahwa cepat atau lambat pelandaian suku bunga acuan akan menyebar merata. Entah mulai di kuartal kedua atau awal kuartal ketiga tahun depan. Ini jelas memberikan gambaran cukup baik bagi perekonomian global di 2024, meskipun mungkin tidak sebaik 2023.

Intinya, lebih banyak disinflasi dan hilangnya momentum ekonomi justru akan memberi ruang yang cukup bagi bank-bank sentral untuk mulai memangkas suku bunga di 2024. Mungkin bukan pemotongan yang besar, tapi terarah dan sistematis menuju level yang tepat ketika inflasi berhenti pada target setiap bank sentral. Setidaknya siklus kenaikan suku bunga acuan sudah berakhir.

Inflasi tahunan global (indeks harga konsumen) diperkirakan akan moderat menjadi 4,9% pada 2024 dari sebelumnya 6,0% pada 2023. Tekanan inflasi yang sangat berkurang akan mendukung daya beli konsumen tanpa harus mengganggu patokan harga ritel.

Kini perekonomian AS mampu terhindar dari resesi dan bersiap menuju era kenormalan baru. Neraca rumah tangga dan tingkat pembayaran utang masyarakat AS tetap sehat. Pasar tenaga kerja yang ketat terus mendukung pekerjaan dan oleh karena itu menjaga tingkat pendapatan masyarakat. Pertumbuhan belanja konsumen dapat tetap positif secara keseluruhan pada 2024, tetapi barangkali pada tingkat yang lebih rendah dari 2023.

Perekonomian Jerman juga mulai tumbuh positif, meskipun tipis. Secara perlahan sektor manufaktur mulai menggeliat diiringi permintaan ekspor produk otomotif yang membaik. Inggris juga mulai terlepas dari kubangan resesi dengan seperangkat kebijakan pro pasar yang dirilis PM Rishi Sunak. Investasi langsung terus membesar, menjadi yang terbaik ketiga di kawasan Eropa.

Pemulihan ekonomi Tiongkok bergerak lamban meskipun seabreg kebijakan stimulus moneter dan fiskal sudah dan akan terus digelontorkan. Namun, dengan rilis pertumbuhan PDB Tiongkok sebesar 4,9% di kuartal ketiga 2023, memberikan pertanda cukup kuat bahwa proses pemulihan ekonomi negara ini sudah berada pada jalur yang benar.

Akhirnya, ekonomi global akan terasa lebih "normal" pada 2024 daripada tiga tahun sebelumnya (masa pendemi Covid-19). Secara perlahan dan konsisten terpantau Purchasing Manager Index (PMI) sektor manufaktur di negara-negara Eropa dan AS sudah mendekati level 50, sebagai ambang batas ekonomi normal, dan siap melampaui level 50 sebagai fase ekspansi ekonomi. ***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ryan Kiryanto
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper