Bisnis.com, JAKARTA - Moody's Investors Service menurunkan prospek obligasi China menjadi negatif, menyoroti kekhawatiran global yang semakin dalam terhadap tingkat utang China.
Mengutip Bloomberg, Selasa (5/12/2023), Moody's menurunkan prospeknya menjadi negatif dari stabil sambil mempertahankan peringkat jangka panjang A1 pada obligasi pemerintah Negeri Tirai Bambu.
Menurut lembaga pemeringkat tersebut, penggunaan stimulus China untuk mendukung pemerintah daerah dan penurunan properti yang meningkat menimbulkan risiko bagi perekonomian negara tersebut.
Setelah perubahan prospek diumumkan, pemerintah kemudian menyatakan kecewa dengan keputusan Moody’s dan menyatakan bahwa ekonomi China akan sangat tangguh dan memiliki potensi besar. Ia juga menuturkan bahwa dampak dari penurunan properti sudah sepenuhnya terkendali.
Adapun, perubahan pandangan dari lembaga tersebut seiring terjadi dengan memburuknya krisis properti di China, yang memicu peralihan ke arah stimulus fiskal, dimana China meningkatkan pinjamannya sebagai langkah utama untuk meningkatkan perekonomian.
Hal tersebut kemudian menimbulkan kekhawatiran mengenai tingkat utang negara, lantaran China berada pada jalur rekor penerbitan obligasi pada 2024.
Baca Juga
"Penurunan peringkat atau perubahan prospek negatif ini sering menandai titik terendah dalam hal berita buruk dan aksi jual pasar. Saya tidak melihat hal ini akan terjadi dalam waktu dua atau tiga bulan ke depan," terang ahli strategi makro global di Vanda Research Viraj Patel.
Patel juga menuturkan bahwa sulit bagi keadaan menjadi lebih buruk daripada ekspektasi bearish saat ini, dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk melihat rebound taktis atau tekanan pendek.
Pada Oktober 2023, Presiden China Xi Jinping memberi isyarat bahwa perlambatan pertumbuhan yang tajam dan risiko deflasi yang masih ada tidak akan ditoleransi, lantaran pemerintah meningkatkan defisit anggaran utama yang terbesar dalam tiga dekade.
Pada tingkat 3,8% pada 2023, rasio defisit terhadap PDB jauh di atas batas yang telah lama ditetapkan yaitu sebesar 3%.
Revisi tersebut kemudian memungkinkan pemerintah pusat untuk menjual obligasi negara tambahan senilai 1 triliun yuan pada 2023, untuk mendukung bantuan bencana dan konstruksi. Pemerintah daerah juga menjual obligasi pembiayaan ulang khusus untuk menukar utang di luar neraca yang mempunyai biaya lebih tinggi.
"Namun, menjaga stabilitas pasar keuangan sambil menghindari moral hazard dan menahan biaya fiskal untuk mendukungnya sangat menantang,” terang Moody's, mengenai tantangan kebijakan yang ditimbulkan oleh utang pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat fokus untuk mencegah ketidakstabilan keuangan.
Adapun, bank-bank besar BUMN China menjual dolar dalam jumlah yang besar terhadap yuan di pasar dalam negeri setelah langkah Moody's. Beberapa pemberi pinjaman komersial juga melakukan hal serupa dengan melepas dolar.
Fitch and S&P Global Ratings
Pada 2024, Fitch Ratings juga menuturkan bahwa mereka mungkin akan mempertimbangkan kembali peringkat kredit negara A+ China. Perusahaan tersebut baru-baru ini juga mengonfirmasi peringkat tersebut dengan prospek yang stabil.
S&P Global Ratings kemudian juga mempertahankan peringkat China di A+ dengan prospek stabil sejak penurunan peringkat terakhir pada 2017, menyusul langkah serupa yang dilakukan Moody’s.
"Risiko penurunan peringkat kemungkinan tidak akan membalikkan rencana penerbitan utang, yang dapat membantu meredakan kekhawatiran terhadap sektor properti dan pertumbuhan lambat China," terang kepala strategis FX Asia di Mizuho Securities, Ken Cheung.
Menurutnya, dampak penurunan prospek peringkat terhadap aliran obligasi akan terbatas, sementara selisih suku bunga China-AS dinilai masih menjadi penggerak utama.