Bisnis.com, JAKARTA – Agresi Israel di Jalur Gaza untuk melawan militan Hamas Palestina menyeret sejumlah sektor bisnis, dari industri ritel hingga sektor transportasi.
Ketegangan di Timur Tengah semakin memanas sejak militan Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023 dan menewaskan 1.200 orang. Setelah itu, Israel melakukan agresi militer ke Jalur Gaza hingga saat ini dan menewaskan lebih dari 13.000 orang Palestina.
Sektor transportasi menjadi salah satu yang terdampak dari ketegangan ini. Perusahaan analisis perjalanan ForwardKeys melaporkan penerbangan internasional di seluruh dunia telah menurun sejak dimulainya konflik Israel-Hamas, khususnya di Amerika, karena banyak orang yang membatalkan perjalanan mereka ke Timur Tengah dan ke seluruh dunia.
Wakil presiden insights ForwardKeys Olivier Ponti mengatakan perang di Timur Tengah pasti akan membuat orang tidak melakukan perjalanan ke wilayah tersebut. Selain itu, perang juga mengurangi kepercayaan konsumen untuk bepergian ke tempat lain.
”Perang ini adalah sebuah bencana, memilukan, tragedi kemanusiaan yang kita semua saksikan setiap hari di layar TV,” katanya seperti dikutip Reuters, Senin (20/11/2023).
Data tiket penerbangan ForwardKeys menunjukkan pemesanan penerbangan internasional dari AS turun 10% dalam tiga minggu setelah serangan 7 Oktober, jika dibandingkan dengan jumlah tiket yang dikeluarkan tiga pekan sebelum serangan.
Baca Juga
Orang-orang di Timur Tengah juga lebih jarang bepergian. Penerbangan internasional yang diterbitkan di wilayah tersebut turun 9% pada periode yang sama. Pemesanan penerbangan internasional untuk melakukan perjalanan ke wilayah tersebut anjlok 26% dalam tiga pekan setelah serangan.
Pemesanan penerbangan internasional turun 5% di seluruh wilayah secara rata-rata, yang berdampak pada pemulihan global dalam perjalanan internasional dari pandemi.
Selain itu, maskapai-maskapai yang terbang melintasi wilayah konflik dihadapkan dengan membengkaknya biaya karena harus menghentikan penerbangan atau mengalihkan rute penerbangan untuk menghindari wilayah tersebut.
Ketika ditanya mengenai kesulitan operasional dalam menjalankan maskapai penerbangan selama konflik di negara tetangga, CEO Royal Jordanian yang berbasis di Amman, Samer Al Majali, mengatakan pengalihan rute penerbangan membebani biaya karena alasan keamanan, kenaikan harga bahan bakar, dan penurunan jumlah pengunjung internasional.
"Kami adalah negara yang paling dekat dengan kejadian baru-baru ini dan kami terkena dampak negatif dari semua yang terjadi," katanya.
Sementara itu, ForwardKeys mencatat tiket penerbangan ke Yordania mengalami penurunan sebesar 49 persen (year-on-year/yoy). Konflik juga mendorong naiknya harga minyak mentah yang sempat diproyeksi naik menjadi US$157 per barel. Hal tersebut turut mengancam biaya operasional maskapai lebih lanjut.
Ritel
Di sektor ritel, sejumlah perusahaan yang dianggap pro-Israel atau AS turut menjadi sasaran aksi boikot masyarakat di seluruh dunia untuk mengecam agresi Israel.
Salah satu perusahaan yang terdampak adalah Starbucks. Perusahaan waralaba minuman kopi ini menjadi target boikot karena diduga mengirimkan menyumbangkan keuntungannya ke Israel.
Namun, aksi boikot terhadap Starbucks sejatinya dipicu oleh gugatan manajemen terhadap serikat pekerja Starbucks Workers United pada awal Oktober lalu. Gugatan tersebut dilayangkan setelah serikat pekerja menyatakan solidaritas terhadap Palestina.
Starbucks menyatakan gugatan tersebut dilakukan karena serikat pekerja menyalahgunakan nama dan logo perusahaan.
Starbucks pun akhirnya buka suara terhadap aksi boikot ini. Melalui laman resminya, Starbucks dengan tegas menyebut perusahaannya telah dan tetap menjadi organisasi non politik.
“Ini sama sekali tidak benar. Rumor bahwa Starbucks atau Howard Schultz memberikan dukungan keuangan kepada pemerintah Israel dan/atau Angkatan Darat Israel adalah tidak tepat,” jelas Starbucks melalui laman resminya, dikutip Kamis (16/11/2023).
Starbucks juga membantah rumor yang menyebutkan bahwa perusahaan pernah mengirimkan keuntungannya kepada pemerintah ataupun tentara Israel. Sebagai perusahaan publik, Starbucks diwajibkan untuk menyampaikan setiap pemberian perusahaan tiap tahunnya melalui proxy statement.
Kemudian terkait penutupan sejumlah tokonya di Israel, Starbucks menuturkan bahwa perusahaan tidak mengambil keputusan bisnis berdasarkan isu politik. Perusahaan menjelaskan, keputusan penutupan di Israel pada 2003 lantaran tantangan operasional yang dialami Starbucks di pasar tersebut.
“Setelah berdiskusi selama berbulan-bulan dengan mitra, kami pun sampai pada keputusan damai ini,” jelas mereka.