Bisnis.com, JAKARTA - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengendus adanya indikasi perampasan laut dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dalam tahun keempatnya memimpin Indonesia.
Human Rights Manager DFW Miftachul Choir menyampaikan, Jokowi-Ma’ruf dalam masa pemerintahannya kerap kali membawa narasi besar maritim Indonesia, seperti identitas Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar hingga poros maritim dunia.
Guna mendukung narasi tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) No.34/2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI).
Aturan ini memiliki tujuh isu strategis diantaranya pengelolaan sumberdaya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia; pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan laut; tata kelola dan kelembagaan laut; ekonomi infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan; pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut; budaya bahari; dan diplomasi maritim.
Sayangnya, Miftachul menilai, kebijakan tersebut justru menjual sumber daya laut kepada kepentingan korporasi dan industri skala besar.
“Melalui kebijakan keterbukaan pasar, zonasi, dan rencana penangkapan ikan berbasis kuota, pemerintah mensponsori perampasan laut dari mereka yang hidup bergantung pada ekologi laut, yaitu nelayan dan masyarakat pesisir,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (2/11/2023).
Baca Juga
Perampasan laut ini dibuktikan ketika tingkat pemanfaatan ikan telah mencapai over eksploitasi, masyarakat pesisir tergusur atas nama pembangunan, nelayan tradisional yang dipaksa untuk hidup bersama raksasa atau kapal-kapal besar, dan tidak ada pelibatan substansial dari masyarakat pesisir dan nelayan tradisional.
Berikut catatan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia tentang indikasi perampasan laut dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin:
1. Privatisasi Sumber Daya Perikanan
Pemerintah kembali mengizinkan penanaman modal asing pada sektor perikanan tangkap melalui Undang-undang Cipta Kerja. Miftachul menyebut, pasca kebijakan ini disahkan, terbukti terdapat peningkatan kapal-kapal diatas 30GT dan tingkat eksploitasi laut meningkat.
Privatisasi laut dilanjutkan dengan Penangkapan Ikan Terukur yang memberikan industri skala besar empat zona eksklusif untuk menangkap ikan. Dengan adanya kuota, potensi nelayan lokal untuk menangkap ikan menjadi terbatas.
“Penangkapan ikan memang harus dibatasi, tetapi seharusnya yang dibatasi adalah industri skala besar dan korporasi, bukan nelayan lokal. Selain itu, minimnya partisipasi publik kian menunjukan tidak ada keberpihakkan kepada nelayan lokal dalam perumusan PIT,” tuturnya.
2. Perampasan Ruang Laut
Ruang laut juga dirampas dengan privatisasi melalui UU Cipta Kerja dengan mudahnya izin lokasi bagi usaha dan non-usaha melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Ditambah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dikenakan bagi yang memiliki izin pemanfaatan menetap di ruang laut tersebut.
“Zonasi seharusnya dapat menjamin ruang bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Nyatanya, perumusan zonasi kehilangan syarat terpentingnya yaitu pelibatan masyarakat-masyarakat terdampak” ujar Research Manager DFW Felicia Nugroho.
3. Hilirisasi Tertahan Pelanggaran Hak Pekerja
DFW menilai, ambisi KKI untuk meningkatkan hilirisasi industri perikanan tak sesuai dengan kenyataan. Pasar-pasar Eropa dan Amerika Utara melacak indikasi kerja paksa dan perdagangan orang dalam rantai suplai perikanan tangkap Indonesia.
Meski sudah ada sertifikasi HAM, serangkaian pelanggaran HAM diatas kapal terus terjadi.
Berdasarkan data National Fishers Center dari 2019 hingga 2023, terdapat 112 kasus dan 316 korban pelanggaran hak pekerja seperti kerja paksa, intimidasi, dan kekerasan. Penelusuran yang DFW lakukan di Nizam Zachman, Benoa, Bitung dan Dobo juga menunjukan fenomena yang sama. Jika Indonesia tidak dapat menyelesaikan HAM di laut, ambisi hilirisasi produk perikanan tidak akan tercapai.
4. Laut yang Belum Terhubung
Janji pemerintah untuk menghubungkan Indonesia melalui tol laut dan menekan disparitas harga nyatanya belum menunjukkan hasil yang berarti. DFW menuturkan, disparitas harga tak kunjung turun akibat adanya praktik monopoli dan mafia di rantai suplai komoditas yang panjang dan tidak dapat dijangkau oleh tol laut.
Di samping itu, masih ada ketimpangan muatan balik dibandingkan muatan berangkat dari kawasan industri di Jawa, pelayaran tol laut yang delay dan tidak terjadwal, waktu pelayaran dari Timur ke Barat yang kurang efisiensi dibandingkan layanan transportasi angkutan laut milik swasta.
5. Dualisme Pengawasan
DFW menyebut, korporasi juga diuntungkan dengan dualisme antara Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) serta Badan Keamanan Laut (BAKAMLA).
“Akibatnya tidak adanya kejelasan mengenai wewenang kedua lembaga tersebut, aktivitas IUUF dan kriminalitas laut semakin mudah terjadi,” tuturnya.
6. Laut Milik Rakyat
Jika ada pembatasan terhadap ruang laut, maka yang dibatasi adalah korporasi dan nelayan industri. Menurutnya, masyarakat pesisir serta nelayan lokal berhak menentukan bagaimana batasan-batasan ditentukan. Seharusnya pemerintah memiliki peran penting untuk memastikan tidak ada pihak eksternal yang mengintervensi.
DFW menambahkan, Kebijakan Kelautan Indonesia dapat berdampak positif jika berpihak kepada mereka yang bergantung pada sumber daya laut.
“Keterlibatan publik yang substansial juga menentukan kepada siapa kebijakan maritim berpihak,” pungkasnya.