Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional atau IMF memproyeksikan bahwa perekonomian di Asia dan Pasifik berada di jalur yang tepat untuk menyumbang sekitar dua pertiga dari pertumbuhan global pada tahun 2023. Namun momentum pertumbuhan tersebut dinilai melambat.
Dalam laporan Regional Economic Outlook Asia and Pacific terbaru yang dirilis Rabu (18/10/2023), IMF memproyeksikan pertumbuhan di kawasan ini mencapai 4,6% pada 2023, naik dari 3,9% pada 2022. Angka ini secara umum tidak berubah dari proyeksi pada April 2023.
Wilayah Asia-Pasifik disebut sebagai kawasan relatif cerah dibandingkan perkiraan pertumbuhan global yang sebesar 3%. Adapun pertumbuhan pada 2024 diproyeksikan moderat menjadi 4,2%, turun 0,1 poin persentasi dari proyeksi sebelumnya.
China berkontribusi dalam perlambatan pertumbuhan di kawasan ini. Negeri Tirai Bambu tersebut mengalami kehilangan daya tarik dan investasi yang kurang berkembang setelah pembukaan kembali.
“Dibukanya kembali perekonomian China telah memberikan dorongan pada sektor jasa dan penjualan ritel seperti yang dialami negara-negara lain. Namun, keuntungan dari sektor manufaktur terbukti tidak bertahan lama,” jelas Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Krishna Srinivasan dalam konferensi pada Rabu (18/10/23).
Menurut laporan, sebagian besar hal tersebut terjadi karena respon terhadap permintaan eksternal yang lemah. Adapun Srinivasan menuturkan bahwa sektor real estat di China juga sedang bergulat dengan tekanan lebih lanjut pada pembayaran cicilan, penjualan rumah dan investasi.
Baca Juga
Selanjutnya, pertumbuhan jangka menengah juga akan lebih melambat menjadi 3,9%, karena pertumbuhan struktural di China dan produktivitas yang melemah di banyak negara lain.
Adapun inflasi juga diperkirakan menurun pada 2024 dalam rentang target bank sentral di sebagian besar negara, lebih cepat dibandingkan wilayah lainnya. Risiko terhadap prospek jangka pendek secara global maupun kawasan ini, tetap cenderung negatif namun lebih seimbang dibandingkan enam bulan yang lalu.
Prospek jangka menengah sendiri dibayangi oleh risiko dari fragmentasi geoekonomi. Di sisi lain, serangkaian reformasi komprehensif di China akan mendorong prospek pertumbuhan jangka menengah, terutama untuk ekonomi yang lebih kecil dan lebih terbuka.
Adapun, beberapa negara dan pasar berkembang berada dalam atau hampir menghadapi masalah utang dan risiko pembiayaan. Temperatur dan biaya bencana alam juga meningkat, terutama untuk beberapa negara yang paling rentan di Asia.
“Bank sentral harus tetap mempertahankan kebijakan untuk memastikan inflasi berada pada target yang sesuai dan ekspektasi tetap terjaga,” jelas Srinivasan.
Menurut laporan, kondisi moneter yang ketat dapat menempatkan tekanan pada stabilitas keuangan, sehingga penguatan pengawasan keuangan, pemantauan risiko sistemik, dan modernisasi kerangka kerja resolusi menjadi sangat penting. Kerangka fiskal jangka menengah yang kredibel dan konsolidasi dapat melindungi ruang fiskal dan keberlanjutan utang.
Penurunan output jangka menengah relatif terhadap tren pra-pandemi juga cukup besar dan ketimpangan tetap tinggi, sehingga membutuhkan strategi pertumbuhan regional yang beragam.
Menanggapi hal ini, IMF menyarankan bahwa penguatan kerja sama multirateral dan mitigasi dampak fragmentasi dinilai sangat penting.
Pada saat yang sama, risiko yang ditimbulkan oleh strategi pengurangan risiko di seluruh Asia dinilai hanya menambah urgensi kebutuhan akan kebijakan struktural untuk mendorong pertumbuhan produktivitas, memfasilitasi transisi hijau, dan mengamankan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.