Bisnis.com, JAKARTA - Kepala ekonom global di Societe Generale dalam mengatakan dalam catatannya bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah tampaknya akan mendominasi pasar.
Menurut Bloomberg Economics, perang yang lebih luas di Timur Tengah dapat membawa perekonomian dunia dalam resesi. Hal ini kemudian dapat menambah kekhawatiran investor mengenai apakah The Fed telah selesai menaikkan suku bunga dan kongres AS yang tak memiliki kendali untuk mencegah penutupan pemerintahan.
Kemudian, menurut ahli strategi suku bunga global di Columbia Threadneedle, Ed Al-Hussainy menjelaskan bahwa lingkungan makro yang memburuk, dikombinasikan dengan fluktuasi tajam dalam suku bunga, telah "membuat panggung" untuk meningkatnya volatilitas global.
Meskipun ukuran volatilitas pasar yang lebih luas dari volatilitas pasar tetap terkendali, mata uang Swiss telah melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari satu tahun terakhir terhadap euro, dan dolar AS menguat selama empat minggu berturut-turut minggu lalu. Volatilitas dalam saham-saham S&P 500 juga meningkat.
Tak hanya itu, ada banyak ketidakpastian di AS yang memicu fluktuasi pasar lebih lanjut. Contohnya pada pekan lalu adanya laporan inflasi yang tinggi sehingga meningkatkan spekulasi terhadap kenaikan suku bunga lagi dari The Fed mengalahkan aliran ke safe haven dan memicu aksi jual satu hari terbesar untuk obligasi 30 tahun sejak awal pandemi.
Ukuran perubahan harga yang diantisipasi di ETF Treasury terbesar di dunia juga melebihi reksa dana saham terbesar di bulan ini, yang paling besar sejak setidaknya tahun 2005. Ditambah lagi, Dewan Perwakilan Rakyat AS masih belum memiliki pemimpin.
Baca Juga
Namun, konflik di Timur Tengah tetap menjadi faktor terbesar yang harus dicerna oleh para investor.
"Kita semua sedang menanti-nanti ke arah mana hal ini akan bergerak, namun sampai kita benar-benar khawatir mengenai suplai minyak, pasar akan menunggu dengan nafas tertahan," kata kepala strategi mata uang di Rabobank, Jane Foley, seperti dikutip dari Bloomberg pada Senin (16/10/2023).
Di lain sisi, permintaan terhadap aset-aset safe haven telah berkurang disaat minggu perdagangan dimulai di Asia dengan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya berupaya untuk menahan perang Israel-Hamas. Dolar Selandia Baru naik setelah pemilihan umum memilih pemerintahan baru.
Kemudian, prospek fluktuasi harga yang liar terus mengganggu investor, setelah lonjakan harga minyak mentah, emas dan franc Swiss dibandingkan dengan euro pada Jumat (13/10).
Adapun, dolar dan obligasi AS yang diyakini sebagai tempat perlindungan tradisional disaat gejolak terjadi mengalami penurunan dalam perdagangan awal. Mata uang yang sensitif terhadap risiko, termasuk dolar Australia kemudian naik sedikit.
Pasar obligasi pemerintah Amerika juga mengalami minggu yang penuh gejolak, dengan surat-surat berharga bergerak di antara keuntungan dan kerugian terbesar dalam beberapa tahun terakhir, karena permintaan diimbangi oleh data inflasi yang mengkhawatirkan dan hasil lelang yang buruk.
Perkembangan lain yang mempengaruhi nilai tukar pada awal perdagangan juga termasuk adanya pemilu akhir pekan di Selandia Baru dan Polandia.