Bisnis.com, JAKARTA — Perbedaan pemahaman valuasi aset disinyalir menjadi penyebab buntunya komitmen pendanaan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dari Just Energy Transition Partnership (JETP).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai negatif diskusi yang belakangan berakhir buntu ihwal potensi pinjaman murah untuk kompensasi percepatan pensiun dini PLTU di Indonesia tersebut. Alasannya, kata Fabby, program pensiun dini PLTU bakal mengakselerasi upaya peningkatan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri mendatang.
“Karena adanya ketidaksesuaian antara nilai aset yang ingin dipensiunkan dengan apa yang diharapkan atau apa yang bisa dilakukan oleh International Partners Group [IPG],” kata Fabby ketika dihubungi, Senin (9/10/2023).
Fabby, yang turut memberi masukan untuk penyusunan comprehensive investment and policy plan (CIPP) JETP, menuturkan pemerintah ingin agar valuasi aset PLTU dihitung berdasarkan pada nilai buku atau book value.
Di sisi lain, negara-negara pendonor JETP berpendapat valuasi aset PLTU yang hendak dihentikan lebih awal mesti dihitung lewat nilai pasar atau market value. Negara anggota IPG berpendapat beberapa aset yang disodorkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN itu telah direvaluasi untuk jaminan utang perseroan.
“Kita juga tidak mungkin menggunakan yang bukan nilai buku karena bisa dianggap kerugian negara,” kata dia.
Baca Juga
Belakangan, PLN memilih mengambil skema pengurangan capacity factor (CF) PLTU batu bara atau coal phase down ketimbang pensiun dini pembangkit (early retirement) untuk mengejar target nol emisi karbon.
Skema itu dijabarkan PLN lewat skenario Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down (ACCEL RE Coal Phase Down), dengan proyeksi tambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 62 gigawatt (GW) atau 75 persen dari kapasitas terpasang pembangkit sampai dengan 2040 mendatang.
Manuver itu diambil PLN lantaran belum jelasnya komitmen pendanaan internasional untuk pembiayaan kompensasi rencana pensiun dini PLTU batu bara hingga saat ini.
Kendati demikian, Fabby berpendapat, manuver PLN yang belakangan memilih untuk mengurangi CF dari PLTU bakal memiliki kesulitan tersendiri pada tataran pelaksanaan. Khususnya, apabila kebijakan pengurangan CF itu dikenakan pada pembangkit milik swasta.
“Ini hanya bisa dilakukan pada PLTU milik PLN karena mereka kan nggak perlu renegosiasi, sementara dari swasta kan mereka perlu renegosiasi ya, ini juga menjadi persoalan sih,” kata dia.
Seperti diketahui, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar atau setara dengan Rp310,7 triliun (asumsi kurs Rp15.535 per US$) dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia, termasuk salah satunya rencana awal soal pensiun dini PLTU.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
Perjanjian tersebut diteken pada November 2022 di sela-sela KTT G20 di Bali, menyusul kemudian inisiasi Sekretariat JETP pada Februari 2023. Usai penundaan rilis rencana investasi JETP pada bulan lalu, pemerintah mengungkapkan negara pendonor belakangan tidak berminat membiayai program pensiun dini PLTU di Indonesia.
Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan, negara-negara Barat sebenarnya belum siap mendanai pensiun PLTU batu bara Indonesia. Kurangnya konsensus mengenai rencana tersebut dapat berpotensi membuat pemangkasan emisi oleh PLTU di Indonesia semakin molor.
"Selama diskusi terlihat sangat jelas bahwa mereka tidak bersemangat memberikan pembiayaan untuk pensiun dini," kata Septian, seperti dikutip dari Reuters, Senin (25/9/2023).
Koalisi negara-negara Barat yang berencana menggelontorkan US$20 miliar untuk membantu Indonesia melakukan dekarbonisasi, telah menyatakan bahwa mereka lebih tertarik untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan komersial, yang menurut Seto tidak diperlukan.