Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah meningkatkan alokasi anggaran kesehatan pada 2024 menjadi Rp187,5 triliun, yang dinilai sebagai salah satu upaya memitigasi berbagai risiko kesehatan agar sumber daya manusia atau SDM Tanah Air bugar dan produktif.
Pagebluk Covid-19 yang turut melanda Indonesia memberikan pelajaran besar soal bagaimana penanganan krisis kesehatan dan pemulihan ekonomi setelahnya. Status pandemi memang sudah dicabut, tetapi dampaknya masih dirasakan oleh masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpandangan bahwa dalam kondisi krisis itu, pemerintah harus memberi perhatian yang sama terhadap kedua aspek tersebut. Paradigma itu menurutnya berhasil membawa Indonesia sebagai salah satu negara yang sukses menangani pandemi.
"Manakah yang lebih harus didahulukan, kesehatan atau ekonomi? Bagi Saya, keduanya sama pentingnya dan harus berjalan bersama," ujar Sri Mulyani saat membahas soal respons dan penanganan Covid-19, dikutip pada Selasa (26/9/2023).
Untuk memitigasi risiko kesehatan lainnya, pemerintah meningkatkan anggaran kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 menjadi Rp187,5 triliun. Jumlah itu naik 8,7 persen atau Rp15 triliun dari outlook anggaran kesehatan tahun ini.
Nilai anggaran kesehatan 2024 itu sendiri setara dengan 5,6 persen APBN.
Berdasarkan hasil kesepakatan dengan DPR, anggaran kesehatan 2024 dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat, yakni melalui kementerian/lembaga (KL) senilai Rp107,2 triliun, belanja non-KL Rp14,2 triliun, dan transfer ke daerah (TKD) senilai Rp66,1 triliun.
Menkeu Sri Mulyani menjabarkan bahwa pemerintah mengarahkan alokasi anggaran kesehatan itu untuk sejumlah fokus. Pertama, penurunan prevalensi stunting, yang menjadi agenda utama Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka stunting di Indonesia terus menurun. Pada 2014 prevalensinya ada di 37 persen, lalu pada 2021 telah menurun tajam menjadi 24,4 persen, dan pada 2022 berkurang menjadi 21,6 persen.
Untuk mencapai target penurunan stunting hingga 14 persen, pemerintah bertekad melakukan penajaman lokasi dan intervensi prevalensi stunting di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, serta memperkuat sinergi berbagai institusi baik pemerintahan pusat, daerah, dan swasta.
Kedua, transformasi layanan primer yang bersifat promotif dan preventif, di antaranya pengobatan dan penangan terhadap ibu hamil dengan kekurangan energi kronis. Kebijakan ini juga turut membantu menurunkan angka stunting.
Ketiga, transformasi layanan rujukan, yaitu dengan pemerataan akses peningkatan layanan prioritas penyakit jantung, stroke, kanker dan ginjal.
Pemerintah telah membangun 15 rumah sakit pratama untuk penguatan layanan rujukan di daerah terpencil. Selain itu, 16 rumah sakit vertikal telah bekerja sama dengan institusi atau rumah sakit internasional.
Keempat, transformasi sistem ketahanan nasional, di antaranya dengan mendorong inovasi alat kesehatan buatan dalam negeri dan penjaminan produk dalam negeri melalui pengadaan barang dan jasa. Hasilnya, sejak 2021 lalu, delapan dari 10 bahan baku obat telah diproduksi di dalam negeri, dan 38 industri farmasi nasional difasilitasi untuk mengganti sumber lima bahan baku obat dari dalam negeri.
Kelima, transformasi sistem pembiayaan, yang meliputi insentif tenaga kesehatan serta perluasan cakupan layanan bagi masyarakat dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3/2023.
Keenam, transformasi SDM kesehatan, yaitu dengan meningkatkan cakupan tenaga kesehatan. Berdasarkan data Kemenkes, 91 persen puskesmas telah dilengkapi minimal satu orang dokter, 61,5 persen RSUD telah dilengkapi tujuh jenis dokter spesialis, juga telah menerbitkan 236.075 surat tanda registrasi (STR) tenaga kesehatan.
Fokus ketujuh adalah transformasi teknologi kesehatan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa perkembangan teknologi di bidang kesehatan yang demikian maju dan pesat harus dijawab dengan kemampuan Indonesia, tidak hanya di bidang rumah sakit, juga teknologi di bidang industri farmasi.
Poin penting dari anggaran kesehatan itu bukan hanya kenaikan nominalnya, tetapi terletak pada transparansi, efisiensi, dan ketepatan sasaran. Anggaran kesehatan pun tidak lagi berbasis mandatory spending, melainkan berbasis kinerja.
Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan Putut Hari Satyaka menyampaikan bahwa terdapat strategi untuk menyiasati masalah anggaran, dengan mengadaptasi sektor belanja kesehatan dari negara lain.
Strategi itu adalah dengan konsep pendanaan kesehatan berbasis kinerja, yang bersumber dari pencatatan pendanaan, transparansi, alokasi yang baik dan pemanfaatannya.
Pertama, dengan membuka sumber lain yang didapat dari swasta atau filantropis. Kedua, melalui penentuan skala prioritas yang jelas, dan yang ketiga adalah pentahapan.
Saat ini, pemerintah membuka partisipasi public dalam penyusunan aturan turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.