Bisnis.com, JAKARTA - Usulan pemisahan TikTok Shop dari aplikasi media sosial (medsos) TikTok terus bergulir. Mulai usulan Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki hingga desakan para pedagang pakaian di Pasar Tanah Abang.
Teranyar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun memandang bahwa seharusnya TikTok hanya berperan sebagai media sosial, bukan merangkap menjalankan bisnis e-commerce. Hal itu seiring dengan keberadaan TikTok Shop yang dianggap sebagai biang kerok sepinya usaha pedagang di Pasar Tanah Abang.
Jokowi menyebut bahwa pemerintah sedang merancang regulasi yang mengatur social commerce. Dia menyatakan regulasi yang sedang dirancang tersebut akan mengatur antara media sosial dan platform perdagangan atau ekonomi.
“Mestinya dia itu sosial media bukan ekonomi media, itu yang baru akan diselesaikan untuk segera diatur,” kata Jokowi usai meninjau penanganan Inpres Jalan Daerah (IJD) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Sabtu (23/09/2023).
Merespons hal tersebut, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda memandang bahwa pelarangan aktivitas perdagangan di media sosial justru sebagai sebuah langkah mundur yang menghambat digitalisasi UMKM.
Pasalnya, dia mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), media sosial menjadi platform kedua terbanyak yang digunakan pelaku UMKM untuk berjualan secara online.
Baca Juga
Adapun, posisi pertama ditempati oleh platform pesan instan seperti Whatsapp dan Facebook. Kemudian di posisi ketiga dan keempat yakni ada e-commerce atau marketplace dan website.
"Jadi saya bisa artikan, aturan tersebut adalah step by step [langkah demi langkah] UMKM bisa go digital hingga akhirnya punya website sendiri," kata Huda saat dihubungi, Minggu (24/9/2023).
Huda mengatakan, alih-alih melarang TikTok Shop, pemerintah diminta agar mengatur social commerce agar setara dengan e-commerce dan pedagang offline di pasar fisik. Dengan aturan setara, diharap bakal tercipta level playing field.
Selain aturan setara, pembatasan produk impor juga diperlukan untuk melindungi produk lokal. Misalnya, dibentuk aturan pemberlakuan disinsentif bagi produk impor, dan sebaliknya, memberikan insentif bagi produk lokal. Pengenaan pajak dan sebagainya pada produk impor menjadi krusial diterapkan di social commerce.
"Tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ," ujarnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, Jumat (22/9/2023), Kemendag dalam revisi Permendag No.50/2020 menetapkan sejumlah aturan bagi e-commerce dan social commerce termasuk TikTok Shop.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Isy Karim mengatakan revisi beleid tersebut mendefinisikan social commerce sebagai penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) seperti halnya e-commerce.
Kemudian, ada pembatasan harga barang impor langsung (cross border) yakni minimal US$100 per unit atau sekitar Rp1,5 juta. Aturan ketiga yakni adanya positive list atau barang yang boleh diimpor langsung di e-commerce.
Selain itu, e-commerce maupun social commerce dilarang bertindak sebagai produsen atau wholesaler, serta adanya kewajiban pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk impor yang dijual secara online.
Isy mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah mengeluarkan izin prakarsa untuk revisi Permendag No.50/2020 tersebut, yang selanjutnya akan ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas).
Dia menargetkan beleid tersebut ditandatangani oleh Zulhas paling lambat Senin (25/9/2023) untuk kemudian diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Adapun proses pengundangan di Kemenkumham, kata Isy akan memakan waktu selama satu pekan.
"Nanti kita tunggu proses dari Kemenkumham," ungkap Isy.