Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kondisi nilai tukar rupiah tetap menguat, meskipun mata uang negara lain justru terkoreksi terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
“Year-to-date untuk rupiah kita masih mengalami penguatan sebesar 2,5 persen terhadap dolar AS. Ini merupakan sebuah capaian dan harus tetap kita jaga,” ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023-2024 tentang Pengambilan Keputusan atas RUU APBN TA 2024, Kamis (21/9/2023).
Sri Mulyani menyampaikan bahwa sepanjang periode 2023, nilai tukar rupiah dan berbagai negara mengalami perlemahan terhadap dolar AS.
Dirinya menjelaskan mulai dari Yen Jepang telah mengalami depresiasi bahkan hingga 11,8 persen. Renminbi China mengalami depresiasi 5,7 persen, sedangkan Lira Turki mengalami depresiasi hingga 43,6 persen.
Demikian juga yang terjadi dengan negara-negara Asean, di mana Ringgit Malaysia terdepresiasi 6,1 persen, Baht Thailand terdepresiasi 2,6 persen, dan Peso Filipina terdepresiasi 1,7 persen.
Berdasarkan data Bloomberg pada Kamis pagi (21/9/2023), rupiah dibuka melemah 0,09 persen atau 1,5 poin ke posisi Rp15.395. Kendati rupiah lemah, indeks dolar terpantau menguat 0,21 persen ke posisi 105,546.
Baca Juga
Sama seperti Indonesia, mata uang lain di kawasan Asia hampir semua mengalami pelemahan. Bahkan, yen Jepang terparkir di zona merah dengan posisi yang stagnan, di sisi lain dolar Hong Kong mengalami pelemahan 0,03 persen, dan dolar Singapura melemah 0,16 persen.
Adapun, dalam realisasi APBN Kita edisi September 2023, Rupiah 19 September 2023 tercatat Rp15.373 (eop) atau rata-rata Rp15.109 (ytd), terapresiasi 2,28 persen dibandingkan nilai tukar awal tahun 2023.
Sementara itu, DPR RI dan pemerintah telah menyepakati asumsi dasar makro pada 2024 untuk nilai tukar rupiah sebesar Rp15.000 per dolar AS.