Bisnis.com, JAKARTA - Para pemangku kebijakan negara beserta PT Pertamina (Persero) dinilai kurang peka dalam memanfaatkan isu polusi udara sebagai katalis pendorong kesadaran pengguna kendaraan bermotor beralih ke produk bahan bakar minyak (BBM) yang lebih bersih.
Sebagai konteks, hal itu berkaitan, antara lain tarik-ulur penghapusan Pertalite, kenaikan harga BBM nonsubsidi (Pertamax dan lainnya) per 1 September 2023, juga sikap lunak pemerintah dalam penyediaan BBM sesuai adopsi standar emisi yang berlaku.
Sustainability Provocateur sekaligus Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia (SII) Jalal menilai pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tampak belum terlalu serius mendorong masyarakat beralih ke BBM bersih.
Hal ini tercermin dari ungkapan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang masih belum tegas soal dukungan pemerintah terhadap usulan Pertamina untuk menghapus Pertalite (RON 90) pada 2024 dan mengalihkan subsidi ke produk Pertamax Green 92, campuran Pertalite dengan etanol 7 persen.
"Baru-baru ini, Menteri ESDM kepada media menyangkal bahwa Pertalite akan dihapus. Belum tahu pasti, tapi ini tentu disayangkan di tengah isu polusi udara yang masih terasa," ujar Jalal dalam diskusi virtual bersama Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Senin (4/9/2023).
Senada, Direktur Eksekutif KPBB sekaligus Ketua Forum Udara Bersih Indonesia (FUBI) Ahmad Safrudin menilai bahwa negara bersama Pertamina justru seperti melakukan sabotase dalam rangka mendorong minat masyarakat untuk semakin mencintai lingkungan.
"Saat kami ingin mendorong masyarakat menggunakan BBM yang lebih bersih, Pertamina justru menaikkan harganya per 1 September, semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Dexlite dan Solar sudah oke harganya ikut naik, tapi kenapa Pertalite tidak? Padahal saat ini bisa jadi momentum untuk menyingkirkan BBM kotor," jelas pria yang akrab disapa Puput itu.
Terlebih, dari sisi regulasi standar emisi kendaraan bermotor, saat ini Indonesia telah mengadopsi EURO 3 untuk sepeda motor dan standar EURO 4 untuk mobil. Alhasil, Pertalite 90, Dexlite 51, dan Solar 48, sudah tidak memenuhi standar.
KPBB pun terus mendorong Pertamina dan pemerintah hanya mengakomodasi ada empat jenis BBM di pasaran. Tepatnya, untuk kendaraan bensin ada Pertamax yang telah dioptimalisasi terkait standar kadar belerangnya untuk kendaraan yang belum Euro 4, serta Pertamax Turbo untuk kendaraan yang sudah Euro 4.
Sementara untuk kendaraan diesel, hanya ada Pertamina Dex (Perta-DEX) yang telah dioptimalisasi untuk disesuaikan mendekati standar EURO 4, serta Perta-DEX High Quality untuk kendaraan diesel yang telah sesuai standar Euro 4.
"Negara lain sudah tidak terima BBM kotor, tapi Indonesia cenderung toleran. Padahal regulasi jelas melarang, tapi masih saja impor besar-besaran karena tangan-tangan jahat yang masih ingin Indonesia sebagai dumping ground BBM kotor. Ini membuat Tanah Air tertinggal, bahkan dari negara-negara Afrika," jelasnya.
Terlebih, berdasarkan perhitungan KPBB, harga pokok penjualan BBM kotor yang dibeli masyarakat Indonesia pun masih jauh lebih mahal ketimbang BBM paling rendah di Malaysia dan Australia.
"BBM ditetapkan dengan harga tinggi, merujuk pada patokan harga BBM berkualitas tinggi. Tapi yang banyak didistribusikan secara nasional dan mendapat subsidi justru yang kualitasnya buruk. Transparansi soal kebijakan atas kualitas BBM ini masih jadi pekerjaan rumah pemerintah," tutupnya.