Bisnis.com, JAKARTA - Pertanian dan perkebunan sawit sering dipandang sebelah mata. Misalnya bertanggung jawab pada isu lingkungan seperti kebakaran atau penebangan hutan (deforestasi).
Padahal, kegunaan produk sawit sangat banyak bagi kehidupan sehari-hari, tak hanya menyoal minyak goreng saja. Selain itu, bertani kelapa sawit juga menguntungkan bagi para petaninya dan banyak membuka lapangan kerja. Oleh karena itu, perkembangannya harus mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai salah satu produsen terbesar di dunia, Ketua organisasi nirlaba Kaleka, Bernardinus Steni Sugiarto mengatakan bahwa salah satu yang menjadi masalah adalah banyaknya petani independen atau petani swadaya adalah mereka tidak mengetahui jika lahannya sudah masuk dalam kawasan hutan, baik hutan lindung maupun hutan konservasi.
Adapun, untuk membuka lahan mereka kerap kali membakar atau menebang sembarangan. Hal ini membuat mereka sering mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Untuk itu, para petani swadaya juga membutuhkan pendampingan hingga sertifikasi untuk memastikan mereka tidak melanggar kawasan hutan untuk bertani sawit.
Pasalnya, petani sawit yang melanggar kawasan atau hutan juga membuat mereka semakin kesulitan, baik dari sisi produksi, penjualan, hingga untuk mendapatkan bantuan.
Baca Juga
Kaleka, sebagai organisasi nirlaba di bidang keberlanjutan perkebunan dan perikanan menyebut menghadapi sejumlah tantangan untuk membantu petani sawit swadaya untuk bisa mendapatkan bantuan hingga mendapatkan sertifikasi.
Kaleka sudah melakukan inisiasi untuk sertifikasi lahan sawit berkelanjutan milik petani swadaya selama sekitar 4 tahun mulai 2019 hingga 2023. Adapun tantangan yang belum selesai antara lain terkait legalitas lahan.
"Masih banyak petani swadaya yang punya lahan sawit di dalam kawasan [hutan]. Itu yang membuat proses [sertifikasi]nya belum bergerak ke mana-mana, karena ada gesekan dengan kawasan hutan dan perkebunan. Paling dominan dengan kawasan hutan," papar Steni saat Media Workshop di Bali, Selasa (29/8/2023).
Kedua, terkait dengan kapasitas organisasi petani dan sebagian besar petani swadaya belum tergabung dengan kelompok tani.
Ketiga, akses petani belum intensif mendapatkan bantuan program pemerintah karena tidak ada kelompok tani dan adanya perbedaan data, serta banyak lahan petani swadaya yang berada dalam kawasan hutan. Adapun, contoh bantuannya berupa modal, sarana prasarana, penyuluhan dan lainnya.
"Karena bantuan itu hanya bisa diberikan ketika lahannya clean and clear, kalau diberikan itu risikonya pemerintah bisa dianggap melegalisasi operasi petani yang dalam kawasan," jelasnya.
Keempat, yang menjadi kendala bagi petani di lapangan juga adalah bahwa biaya pendampingan menjelang sertifikasi hingga bisa mendapatkan sertifikasi yang tinggi. Kaleka mencatat di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, biaya total sertifikasi bisa mencapai sekitar US$151 atau sekitar Rp2,3 juta per hektare, dengan masing-masing petani memiliki sekitar 1-2 hektare lahan.
Lebih lanjut, Steni mengatakan biaya tersebut juga mungkin bisa lebih tinggi dan berbeda di tiap daerah.
Adapun, beberapa solusi yang ditawarkan antara lain dengan memperbaiki regulasi dari pemerintah, terutama dari pemerintah daerah terkait dengan legalitas lahan.
"Misalnya dengan membentuk tim kerja untuk melakukan identifikasi lahan yang bersimpangan dengan kawasan hutan atau perkebunan," ujarnya.
Kedua, dengan meningkatkan dukungan untuk menambah kapasitas petani melalui program pemerintah misalnya dengan pelatihan pengelolaan perkebunan yang baik (Good Agriculture Practice/GAP).
Ketiga, pemerintah juga bisa membantu menjembatani dialog antara petani independen dengan perusahaan atau tempat pengolahan. Pemerintah selanjutnya juga bisa melakukan penyuluhan dan memberikan Surat Tanda Daftar Usah dan Budidaya (STDB) kepada petani swadaya.
Keempat, perusahaan besar yang berada di satu daerah dengan petani swadaya bisa berkomunikasi dan mengajak petani untuk bergerak bersama agar petani segera siap melakukan sertifikasi.
CEO Badan Sertifikasi Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO) Joseph D'Cruz menyebutkan beberapa keuntungan jika petani sawit swadaya bisa mendapatkan sertifikasi.
Menurutnya, sertifikasi lahan sawit berkelanjutan bisa memberikan kesempatan untuk konservasi lahan. Selain itu, pendapatan petani juga bisa meningkat karena sertifikat bisa menjadi nilai tambah baagi produksinya.
Selain itu, produktivitas petani juga bisa meningkat, penggunaaan bahan kimia untuk perawatan tanaman menurun dengan GAP, dan kualitas hidup petani bisa menjadi lebih baik.
Adapun, dengan memiliki sertifikat sawit berkelanjutan bisa membantu petani mendapat akses lebih mudah ke tempat pengolahan dan pembeli tandan buah segar (TBS) dengan harga yang kompetitif bahkan di kancah global.